Minggu, 21 Desember 2014

Tugas PASCA Resume IQRA: Teori dan Implikasi




IQRA: TEORI DAN IMPILIKASI
Ayat-ayat modernisasi
Detik demi detik berlalu berganti menit hingga perhelatan jam yang berdetak hingga zaman pun berubah. Pengaruh dari perubahan waktu itu menciptakan peradaban-peradaban yang cukup signifikan dalam lintas kehidupan manusia. Lahirlah berbagai paham-paham yang dianggap mampu merubah peradaban manusia, sampai saat sekarang ini serpihan-serpihan peradaban itu mampu kita rasakan sampai detik saat ini.
Apa yang terlintas dalam pemikiran kita ketika mendengarkan kata modern, modernisasi, modernism dan sebagainya? Sebelum munculnya istilah modernism, yang lebih berkembang di  Itali-Eropa adalah Reinassance yang merupakan pergerakan budaya yang sangat mempegaruhi kehidupan intelektual manusia sekitar abad ke 16. Modernism diketahui sebagai konsep yang berhubungan dengan kehidupan manusia dengan lingkungannya yang terjadi pada zaman modern.  Namun demikian, dengan jelas dapat dilihat bahwa konsep modernisasi yang multidisiplin ilmu yang terdiri seni dan sastra menunjukkan bahwa hal ini ada kaitannya dengan praktik penolakan terhadap konsep-konsep sebelumnya seperti praktik kapitalisme, sekularisme, colonialism dan sebagainya.
Modernisasi pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 merujuk pada pertumbuhan rasionalisme dan sekularisme di barat. Sekarang secara universal modernisasi merujuk pada proses pembangunan, transisi dari penyelenggaraan tatanan social, politik dan ekonomi tradisional menuju konsep penerapan prinsip-prinsip modern. Dalam bentuk kajian sosiologi, terdapat empat kecenderungan dalam menganalisis modernisasi antara lain:
1.      Empiris
2.      Universal dan komparatif
3.      Spesialisasi
4.      Mengakji proses modernisasi dan bagaimana mempercepatnya.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Inkeles (1966) bahwa dalam mengukur derajat modernisasi suatu bangsa dan Negara dapat dilihat dari delapan aspek secara kolektif dalam sebuah pranata social antara lain:
1.      Menyetujui gagasan baru dan berani menguji-coba metode dan teknik baru
2.      Kesiapan menyatakan pendapat
3.      Beriorentasi pada masa kini dan mendatang daripada masa silam
4.      Menghargai ketepatan waktu
5.      Melakukan perencanaan, organisasi, dan efesiensi
6.      Melihat dunia ini sebagai hal yang dapat dikalkulasi
7.      Percaya akan sains dan teknologi
8.      Meliat pentingnya pemerataan keadilan
Ke delapan konsep tersebut di atas menjadi acuan kita bagaimana memaknai arti modernisasi. Kita harusnya menyadari bahwa apa yang kita lakukan secara kaffah tidak hanya sebagian melainkan harus disiplin. Dalam pengamatan kita, konteks yang istilahnya setengah hati inilah yang akan menimbulkan modernisasi menebar nista dan malapetaka. Alasannya masa transisi yang menjanjikan seribu ketidakpastian, dan ketidakpastian identik dengan kesewenang-wenangan.
Agama sesungguhnya diturunkan melalui rasul untuk mengatur kehidupan social. Malapetaka modernisasi yang melanda kita selama ini sesungguhnya akibat kelengahan kita mengamalkan ajaran agama. Banyak bentuk ibadah yang diperintahkan Allah kepada manusia memiliki manfaat yang cukup besar dan tidak lain hanya untuk manusia itu sendiri sedangkan tuhan sendiri tidak sama sekali. Seperti halnya puasa, melalui ibadah puasa, sesungguhnya rasul mengajarkan umatnya beberapa ayat modernisasi yang sejati:
Pertama, ibadah puasa adalah juga praktik ibadah umat terdahulu dan dilakukan sebagai bekal hidup setelah mati. Dengan demikian, puasa menguatkan kesinambungan historis masa lalu, kini dan masa yang akan dating.
Kedua, puasa dilakukan dengan pembatasan waktu tertentu yakni sejak terbit fajar sampai erbenamnya matahari. Kita dianjurkan untuk segera berbuka puasa tetkala matahari terbenam. Artinya rasul mengajarkan kita melakukan kegiatan tepat waktu sesuai dengan rencana.
Ketiga, selama bulan ramadhan, ganjaran ibadah dan segala kebaikan dilipatgandakan. Hikmah ini mengajarkan kepada kita untuk mampu menangkap peluang dan melakukan kalkulasi cermat untuk mendapatkan untung sebesar-besarnya.
Keempat, ganjaran pelaku ibadah puasa adalah dihapuskannya segala dosa terdahulu sehingga pada setiap 1 syawal, ia memulai gagasan baru dan mencoba metode baru dalam kehidupannya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Dengan kata lain, rasul menganjarkan kepada kita semua untuk selalu memperbarui sudut pandang dan metode kehidupan social.
Kelima, selama bulan ramadhan manusia dihimbau untuk berdoa sebanyak-banyaknya sejalan dengan getar batinnya. Hikmah ini mengajarkan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat. Wong kepada tuhan saja kita masih bebas berunjuk rasa, apa lagi kepada sesama manusia.
Keenam, puasa diwajibkan bagi seluruh elemen yang terkait baik dia seorang laki-laki, perempuan, pejabat,  miskin-kaya, kulit hitam-putih. Namun ada orang-orang tertentu yang diberikan konpensasi hokum, artinya, ibadah puasa mengajarkan pentingnya pemerataan keadilan demi tegaknya tatanan social masyarakat

Tujuh Ayat Pendidikan
Pentingnya pendidikan di kalangan manusia di era modern sangat menentukan tatanan social seseorang baik di mata manusia bahkan di hadapan Allah sekalipun. Pernah suatu ketika Abu Bakar bertanya mengenai ihwal pendidikan yang ditempunya. Rasul menjawab, “Allah mendidikku, maka itulah sebaik-baiknya pendidikan,” Allah pun menegaskan dalam firmannya yang tertuang dalam Q.S. Al Mujadilah Ayat 11:
“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dengan demikian, untuk membangun SDM yang berkualitas institusi dan cara-cara pendidikan yang diwahyukan Allah dan dilakoni Rasulullah seyogyanya dijadikan rujukan oleh para pengelola pendidikan khususnya dan umat islam pada umumnya. Sehingga terjadilah tatanan social yang memiliki kepribadian yang tinggi karena janji Allah dalam firmannya bagi orang-orang yang yang berilmu akan diangkat derajatnya seperti orang-orang yang beriman.
Demi kemaslahatan itulah, islam menegaskan kembali untuk mensyariatkan institusi puasa. Umat islam harus yakin betul bahwa berpuasa itu baik demi kesehatan secara fisik maupun psikis. Sesungguhnya dalam puasa itu ada sebilangan fungsi pendidikan antara lain.
Pertama, pentingnya basis pengetahuan empiric. Umat islam diperintahkan memulai dan mengahiri puasa setelah yakin datangnya bulan atau hilal. Artinya betapa islam mewajibkan umatnya untuk menguasai cabang ilmu falak, geografi dan astronomi. Ibadah puasa sekali lagi menguatkan kepada kita keniscayaan integrasi ilmu pengetahuan dan ritual ibadah.
Kedua, apresiasi tehadap perbedaan pendapat. Islam melihat perbedaan pendapat sebagai rahmat yang mencerdaskan. Umunya ada dua cara untuk mengetahui datangnya hilal itu: 1) melalui ru’yat atau observasi langsug yang bergantung pada visibilitas hilal atau keterlihatannya oleh mata, dan 2) melalui hisab, yakni perhitungan tanggal lewat system penanggalan baku. Karena metode yang ditempuh berbeda dan lokasi geografis yang berbeda, kesimpulan permulaan dan ahir ramadhan pun bisa berbeda.
Ketiga, kejujuran. Berbeda dengan shalat, zakat, atau haji, puasa ibadah nonfisik yang tidak demonstrative, sehingga pelakunya tidak dapat riya atau show. Seseorang bisa berpura-pura puasa kepada orang lain, tetapi saat sendirian ia tidak berpuasa. Jadi intinya puasa melatih umat islam jujur kepada diri sendiri, karena Allah maha melihat dan tidak dapat dibohongi.
Keempat, disiplin. Puasa dianjurkan untuk segera di ahiri setelah waktu yang telah ditentukan. Begitu waktu waktu imsak tiba maka rutinitas keseharian yang halal seperti makan, minum, merokok dan hubungan seks menjadi terlarang sementara waktu sampai waktu ifthar atau berbuka puasa. Pada bagian ini dapat diambil sebuah pelajaran kepada manusia bagaimana bersikap profesional yang ketat sehingga hal-hal yang halal sekalian pun halal menjadi haram ketika waktu yang ditentukan. Dengan kata lain manusia memiliki tangggungjawab sebagai orang yang professional di mata public juga tanggungjawab kekhalifaan kepada sang khaliq.
Kelima, antisipasi terhadap pengecualian dan anomaly. Tidak semua muslim wajib puasa. Perempuan yang haid, orang sakit, dan mereka yang sedang bepergian atau musafir misalnya, boleh batal puasa dengan membayar konpensasi di lai waktu. Dengan demikian hal ini menantang kita bagaimana untuk senantiasa berlaku adil dalam member keputusan dan tidak saling memberatkan satu sama lain.
Keenam, kepekaan social, rasa lapar dan dahaga yang sengaja dilakukan di siang hari adalah media pendidikan untuk membangun empati social kepada mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Hal ini mengajarkan kita agar senantiasa saling menyantuni sama lain serta ikut prihatin bagi mereka-mereka yang kurang beruntung. Sehingga disinilah kesempatan kita untuk saling menyantuni antara si kaya dan si miskin, pejabat dengan bawahannya dan seterusnya. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi masyarakat.
Ketujuh, keutuhan keluarga. Di bulan-bulan lain sang ayah, ibu dan anak masing-masing memiliki kesibukan yang berbeda sehingga pada kesempatan ini mereka diberikan kesempatan untuk hal kebersamaan, apakah itu dalam hal sahur atau mengerjakan shalat secara berjama’ah. Puasa tampaknya paling terstruktur dalam membina rumah tangga yang baik.
Linguistik Islam
Dalam beberapa tahun terakhir ini para penyelenggara penataran guru bahasa seringkali memasukkan tema Keimanan dan Ketakwaan atau disingkat IMTAQ. Biasanya para nara sumber diminta untuk membahas tema itu yang pada umumnya sedikit banyak akrab dengan kajian islam dan memahami bahasa arab.
Keragaman bahasa dan budaya
Kebhinekaan suku, bangsa, agama dan bahasa seyogyanya ditafakkuri sebagai bukti keagungan Allah SWT, dan kajian kritis terhadap fenomena suku bangsa dan bahasa adalah bagian dari tugas para ulama sebagai bukti penghambaan diri kepada Allah. Al Qur’an bukan hanya merupakan ajaran, melainkan juga sumber ilmu pengetahuan, khususnya ilmu bahasa antropologi dan kebudayaan pada umumnya.
Hakikat bahasa adalah alat komunikasi, yakni komunikasi antar manusia, antar manusia dan hewan, manusia dan malaikat, manusia dan Tuhan sertan tuhan dengan segala mahluknya. Dengan demikian, mempelajari ilmu bahasa sangat dianjurkan dan bahkan sebagai kewajiban kifayah bagi para ulama ahli bahasa, para da’I dan para guru bahasa.
Landasan teoritis
Ditinjau dari segi linguistic, semua bahasa sama, yaitu berperan sebagai system symbol bunyi secara arbitrer yang merupakan alat untuk berkomunikasi. Seperti halnya bahasa arab dan bahasa inggris. Bahasa arab menjadi penting karena dunia islam disampaikan melalui hadis dan Al Qur’an dengan menggunkan bahasa Arab.  Demikian pula dengan bahasa inggris. Bahasa ini menjadi bahasa yang bergengsi dalam forum internasional bukan karena bahasanya, melainkan karena siapa dan apa yang dibicarakan. Namun, tatkala apa yang dibicarakannya menjadi penting misalnya agama, sains, dan teknologi maka penguasaan bahasa itu menjadi sangat niscaya dan merupakan prasyarat. Selain itu, studi bahasa dikembangkan sehingga memiliki beberapa cabang ilmu terapan tidak lain demi untuk kebahasaan yang terus berkembang seperti fonologi, morfologi, sintaksis, semantic, pragmatic, discourse analysis, berbicara, membaca, mendengarkan dan menulis.
Objek kajian studi bahasa
Terdapat dua hal besar paling menonjol dalam studi bahasa, yaitu bahasa sebagai objek studi, khususnya bagi para mahasiswa jurusan bahasa dan sastra, dan bahasa sebagai alaya komunikasi secara luas, dan untuk memperoleh pengetahuan. Masing-masing pendekatan ini memiliki tempat tersendiri dalam literature kabahasaan dan pendidikan bahasa.
Lingustik terapan memanfaatkan berbagai kajian cabang ilmu yang dapat dimanfaatkan untuk prosesi pembelajaran bahasa yang dapat meliputi berbagai aspek seperti social, psikologi, antropologi dan berbagai cabang ilmu pengembangan teoritis seperti pemakaian bahasa dan perencanaan pembelajaran bahasa serta pemahan silang budaya (Cross Cutural Understanding).
Prinsip dan aplikasi imtaq
Dalam alqur’an dapat ditemukan berbagai prihal ayat yang menyebutkan tentang ihwal pendidikan. Tak sedikit dari ayat tersebut mengutarakan betapa pentingnya pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya konsep multilingualisme dan multikulturalisme mendorong manusia untuk saling kenal mengenal (QS. AlHujurat: 13), para rasul diutus dengan menggunakan bahasa masyarakat (QS. Ibrahim: 4), manusia dianjurkan untuk berbicara dengan bahasa komunikatif (QS. Annia: 63), keras keji mulut menghambat komunikasi (QS. Ali Imran: 159), ucapan-ucapan rasulullah selalu dimengerti pendengarnya (HR. Buhari Abu Daud), berlainan bahasa adalah petunjuk kekuasaan Allah (QS. Arrum), Allah SWT, mengajarkan kita bagaimana sopan santun saat berbahasa kepada kedua orang tua (QS. Lukman: 19) dan (QS. Al Isra’: 23-24), pemeliharaan bahasa dicontohkan Allah SWT. Menghargai kegiatan tulis menulis (QS. Al Qalam:1).
Pendidikan Seni Islami
Seni diyakini berumur setua peradaban manusia. Bagi umat islam jalan pintas untuk memahami aal mula seni islam dapat ditelusuri pada wahyu yang pertama diturunkan, yaitu perintah membaca kepad nabi Muhammad saw. Kata iqra’ adalah verba imperative yang berarti bacalah! Turunya iqra’ adalah bunyi peluit dimulainya revolusi literasi yang dikomando jibril untuk mencerdaskan manusia. Membaca mengandung serentang makna kognitif. Iqra’ sebagai verba transisitf dalam ayat ini tidak diikuti oleh objek. Ini ditafsirkan bahwa membaca disini tidak terbatas hanya pada tulisan, tetapi merujuk kepada objek yang lebih umum termasuk alam semesta.
Sebagai objek baca, alqur’an adalah juga objek apresiasi sastra. Bahwa tidak semua orang mampu menangkap keindahan sastranya, itu menunjukkan bahwa apresiasi itu relative dan subjective tergantung pada potensi akal dan kreativitas. Hal ini merupakan anugrah dari Allah SWT. Bahwa manusia memiliki fitrah untuk merasakan berbagai keindahan dalam bahasa, lukisan, arsitektur, suara, pahatan, instalasi dan sebagainya.
Dalam sebuah hadis rasulullah saw. Bersabda: “sesungguhnya Allah Maha indah dan menyayngi Keindahan.” Hadis ini membuktikan bahwa islam sangat mendorong untuk menumbuh kembangkan seni dalam kehidupan manusia sesuai dengan budayanya masing-masing untuk memperluas cakrawala psikologisnya. Teoi subjekfitas melihat bahwa keindahan suatu benda itu sesungguhnya tidaklah ada, yang ada hanyalah persepsi atas objek apresiasi. Rasulullah Saw. Pernah bersabda “gunung ini (uhud) mencintai kita dan kita pun mencintainya. Melalui gaya isti’arah atau personifikasi yang indah, deskripsi gunung menjadi hidup. Ini mengingatkan kita bahwa alam raya ini adalah sesuatu yang hidup dan memiliki kepribadian, sehingga manusia perlu menjalin hubungan “kemesraan”dengannya. Manusia diajari bukan hanya bersatu dengan Tuhan melainkan dengan alam sekitar, tidaklah mengherankan bahwa dari lisan kaum shufi mengalir puisi-puisi bijak nan indah sebagai rintihan tauhidiyah.
Kesimpulan
Dari berbagai paparan di atas dapatlah dikemukakan bahwa pendidikan seni dalam islam adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan secara keseluruhan. Dari kacamata islam,bukanlah pendidikan jika tidak ada kesenian di dalamnya. Pendidikan seyogyanya memberdayakan fitrah estetika anak didik untuk mampu mengapresiasi alam semesta dengan segala isinya semaksimal mungkin. Penikmatan akan keindahan sesungguhnya terlahir dari sisi terdalam diri manusia yang memiliki kecenderungan kepada yang indah-indah sebagai naluri atau fitrah yang dianugrahkan Allah.
Ilmu  Pengetahuan memiliki peran penting pada era sekarang ini. Karena tanpa melalui pendidikan proses transformasi dan aktualisasi pengetahuan modern sulit untuk diwujudkan. Demikian halnya dengan sains sebagai bentuk pengetahuan ilmiah dalam pencapaiannya harus melalui proses pendidikan yang ilmiah pula. Yaitu melalui metodologi dan kerangka keilmuan yang teruji. Karena tanpa melalui proses ini pengetahuan yang didapat tidak dapat dikatakan ilmiah. Perjalanan  Ilmu pengetahuan  pada  dasawarsa  sekarang ini  dapat di katakan  luar  biasa  perekembangannya,  terasa   sangat cepat dan dahsyat  sepanjang  sejarah peradaban maanusia.   Perjalanan  ini  pada dasarnya  mempunyai dasar dan akar yang sangat  kuat  dan panjang.
Referensi
Alwasilah, A. Chaedar. 2014. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

critical review: Second Language Acquisition and Critical Period Hypothesis



Critical Review: Second Language Acquisition and Critical Period Hypothesis


2143 00027
Postgraduate of English Education Department of UMPAR
The “Critical Period Hypothesis” refers to the idea that the ability to acquire language is related to aging and there is an ideal period of time to attain a language, after which it is no longer possible. This hypothesis was originally proposed by Penfield and Roberts (1959) and followed up by Lenneberg (1967) who suggested that it could be extended to the second language acquisition. Subsequent studies all found the same result that second language learning performance correlates negatively with the age at which the learning begins prior to puberty. Contrarily, among late learners, the correlation of age with learning performance suggests that different mechanisms are affecting adults’ proficiency other than maturation (Birdsong & Molis, 2001; Hakuta et al., 2003; Oyama, 1976).  However, it is controversial that this negative correlation between age and learning performance can be attributed to a biologically based critical period for second language acquisition that prevents older learners from achieving native-like competence in phonology as well as syntax of a non-native language.
In this literature review, the existence of a critical period for second language acquisition is investigated. It is hypothesised that native-like attainment of second language acquisition is influenced by social, educational and motivational factors such as age of immigration and amount of second language education. The following three literature reviews attempt to demonstrate and support this hypothesis.
First, in a research article by Hakuta, Bialystok and Wiley (2003) the effect of age of acquisition on second language proficiency by studying a large number of immigrants with different ages of initial exposure to English was examined. Evidence for a critical period would require a clear discontinuity in learning outcome around a specific age, independent of social and educational factors which can also affect performance. They searched for an evidence for a critical period by observing immigrants second language learning performances.
In the past, Johnson and Newport (1989, 1991) have found a strong age-related decline in proficiency for languages learned prior to puberty and random variation in second language achievement among later learners, supporting the Critical Period Hypothesis. However, the data were controversial because age of exposure, duration of exposure, and social and linguistic backgrounds of the participants are possible confounding factors (Bialystok and Hakuta, 1994).
Other researchers (e.g., Epstein, Flynn & Martohardjono, 1996; Hakuta, 2001) rejected the Critical Period Hypothesis. Identification of older learners who achieve native-like competence in a second language and behavioural evidence that fails to reveal a qualitative change in learning outcomes at the end of putative period have been used to challenge the Critical Period Hypothesis.
An alternative to the critical period hypothesis is that second language learning declines with age, because of social and educational factors, as well as cognitive aging which interfere with the adult’s ability to learn a new language (Hakuta et al., 2003). It is suggested by Bialystok and Hakuta (1994) and Flege et al. (1999) that among social factors, amount of the second language education is the strongest predictor of second language acquisition. Amount of language use varies among immigrants because they have different experiences, qualitatively and quantitatively exposed to different levels of the new language and have different opportunities for formal study of the language.
Besides social factors, there are age-related changes in cognitive processing which affect the ability to learn a new language. Therefore, older learners would have more difficulties in acquiring a second language than younger ones (Salthouse, 1992).
In the study done by Hakuta et al. (2003), data from 2.016.317 native Spanish speakers and 324.444 native Chinese speakers as identified by the 1990 U.S. Census were derived. Their minimum length of residence in the U.S was 10 years. The participants self-described their English ability. They were also asked questions about their age, year of arrival in the U.S, and educational background. The goal was to model English proficiency on age of immigration, education and existence of a critical period. Age of immigration was estimated from the current age of participants and year of arrival in the U.S.  To test for evidence for a critical period, the procedures for modeling regression discontinuities suggested by Neter et al. (1996, pp. 474-478) was followed. If a discontinuity in the regression of English proficiency on age of immigration at the point marking the end of the critical period is found then a critical period would exist. Change in mean of the regression line and a change in the slope of the regression line were tested to see if discontinuities in the regression model exist (Neter et al., 1996, p. 478).
Analyses of data showed a strong main effect of education was found. A moderate effect for the age of immigration and education was found (Chinese: marginal R2=.0932; Spanish: marginal R2=.0632) which suggests that the relation between age of immigration and English proficiency change with different levels of education. The results indicated that length of residence (10 years or more) does not affect English proficiency. For both Spanish and Chinese speakers, no significant change in the mean or in slope of the regression line was found. Interactions between both the mean and slope change variables and the education variables were tested, as well as the size effects which would be evidence for regression discontinuities. There was little evidence for these discontinuities (No change in R² more than .0018). Moreover, to better understand the data, Hakuta et al. (2003) tested the data with a local regression model. The local regression plot also found no evidence for discontinuity.
All of these findings combined confirm the hypothesis that the negative correlation of age with learning performance is due to the social and educational factors such as age of immigration and amount of second language education, rather than a biologically based critical period (Hakuta et al., 2003).
Next, in a research article by Birdsong and Molis (2001), the idea that second language acquisition is constrained by maturational factors that include a critical period for native-like attainment is investigated. Johnson and Newport (1989) proposed a maturational model of second language attainment based on behavioural evidence. In their study, 46 Chinese and Korean immigrants living in the U.S., with Age of Arrival (AoA) ranging from 3 to 39 years, were administered a grammaticality judgements of 276 randomly ordered English sentences, half being grammatically correct. The sentences were in twelve types of structures, representing surface features of English morphology and syntax. Participants also asked about their language background, attitudes about the U.S., and motivation to learn English. Among early arrivals (AoA ≤ 15), a strong negative correlation was found between the second language performance and AoA. However, among late arrivals (AoA ≥ 17), a weak negative correlation was found between performance and AoA, indicating that near-zero incidence of native-like attainment was observed. The results were consistent with a maturational account and indicated that a critical period exists for second language acquisition. 
Similarly, Shim (1994) investigated the limits of second language attainment from a maturational view by testing English acquisition of Korean subjects who varied in their age of second language exposition. Shim concluded that exposure to the second language before age 5 assures native-like performance.
On the contrary, post maturational age effects were found by Bialystok and Hakuta (1994, 1999), Birdsong (1992) and Flege (1999) who did not support a maturational view. Bongaerts (1999), Cranshaw (1997), and van Wuijtswinkel (1994) have testified significant numbers of late learners who perform like natives on various linguistic tasks. Bongaerts (1999), Cranshaw (1997) and Flege (1999) suggest that results are not generalizable, as the incidence of native-like attainment appears to depend on particular pairings of first-second languages. Moreover, Bialystok and Miller (1999) studied the acquisition of second language English morphosyntax by native speakers of Spanish and Chinese. Biologically based second language acquisition constraints were not predicted. Age and performance of second language were negatively correlated for a range of AoAs, however an evidence for a critical period was not found.
Flege, Yeni-Komshian, and Liu (1999) investigated end-state proficiency in English pronunciation by Korean natives of varying AoAs in the U.S. With increasing AoA, there was a decline in pronunciation accuracy and performance, but not in morphosyntax. The present research by Birdsong and Molis (2003) examines the predictions of a maturational account of second language by replicating the Johnson and Newport (1989) study with a sample of native Spanish speakers whose second language is English.
The participants were 61 native speakers of Spanish, of 29 were Early Arrivals (AoA <= 16) and 32 were Late Arrivals (AoA >= 17). The mean length of residence in U.S. was 10 years. All the participants had obtained a bachelor's degree, and were students, faculty members or employees at major U.S universities. All materials and procedures were identical to J&N89 study except that 274 sentences were asked. Participants were given three items, one to self-asses their fluency in English, the other two to estimate current use of Spanish and English.
The researchers found weak negative correlation between early AoAs and judgement accuracy (r=-.23). Conversely, strong negative correlation was found between late AoAs and judgement accuracy (r=-.69). This result contrasts with J&N89 findings where a weak correlation was found between the AoA with language performance among late arrivals. J&N89 study and the replication of J&N89 study indicated significantly different results in terms of onset of age effects, the correlation of scores with early and late AoA and the regression discontinuities for early and late AoAs.  Increasing variability in performance was found with later AoA in J&N89 study. This greater variability after maturation is consistent with the Critical Period Hypothesis (Johnson & Newport, 1989, pp. 96-97). However, the replication study did not reveal variations in their performance among late arrivals. In addition, 13 out of 32 late AoAs (AoA ≥17) showed native-like performance in English, refuting the Critical Period Hypothesis which supports the criterion that among late learners near-zero incidence of native-like attainment can be observed. With native speakers of Spanish, Birdsong and Molis (2001) found that among Spanish speakers the onset of age effects differs from what J&N89 found for Chinese and Korean speakers. In their study, Birdsong and Molis (2001) were particularly concerned with the end-state. Sorace (1993) argues that end-state second language grammars differ qualitatively as a function of the first language. As a result, the hypothesis that, if a maturational based critical period determines the level of attainment, then the findings should not be unique to the first-second language pairings is not supported by the replication study. Among Late AoAs and over all subjects, amount of current English use is found to be a strong predictor of performance. Both J&N89 and the replication study found that AoA is the strongest predictor of performance.
Consequently, these results confirm the hypothesis that the negative correlation of age with learning performance is due to the social and educational factors such as age of immigration and amount of second language education, rather than a biologically based critical period. These criteria can be generalized to any first-second language pairings (Birdsong & Molis, 2001)
Lastly, the third literature accounts adult’s poor performance in second language learning, as opposed to children, to motivational factors such as desire to identify with native speakers at the same time supporting a sensitive period for second language acquision. A research paper by Oyama (1976) investigated the existence of a sensitive period for acquisition of the phonological system of a non-native language. Past research has found that only early learners of a second language are able to achieve native-like performance in pronunciation (Krashen, personal communication; Asher & Garcia, 1969). Oyama (1976) tested the hypothesis that there is a developmental period beginning approximately from 18 months to the end of maturation, during which it is possible to fully acquire the phonology of at least one non-native language, and after which complete acquisition is extremely unlikely.
Participants were 60 Italian-born male immigrants, from New York metropolitan area, who learned English as a second language upon their arrival in the U.S. To minimize the social and cultural factors and dialectal variations, the participants were taken from the upper educational groups to ensure that participants had ample exposure to Standard English. Participants were distributed along two independent variables (IVs), age at arrival in the U.S (6-20 years) and length of stay in the U.S (5-18 years).
Participants were asked to read a sample paragraph in English to test their pronunciation. Then, they were asked to recount a frightening episode in their life to observe their stylistic variation in causal speech. It is observed by Labov (1966c) that when people engage in casual speech tends to be informal. Both the paragraph readings and the stories were recorded in tapes with control samples mixed at irregular intervals. Finally each subject filled a questionnaire about their method of learning English, relative amount of first and second language use and certain attitudes about the second language. The tapes were judged for degree of accent by two native graduate linguistic students and defined as non-native English speakers.
The analyses of the data showed that age at arrival was a strong predictor of accent while length of stay had very little effect. Unexpectedly, casual speech showed fewer accents than the paragraph readings and age at arrival had a stronger effect for the paragraphs than for the casual speech. Paragraph samples yielded results that stylistic variation for early age at arrivals seems to resemble that of native speakers, more than later ones. These results indicate that there is a strong relationship between age and language which provides a theory for the postulation of a sensitive period for second language acquisition.
This paper has reviewed the empirical literature available as to the existence of a Critical Period for second language acquisition and the reasons that constraint adults from achieving a native-like performance. All of the literature studied supports the hypothesis that the native-like attainment of second language acquisition is influenced by social and educational factors and points out the importance of early age of arrival and large amount of formal education of the second language to come to a native-like level in non-native languages (Birdsong & Molis, 2001; Hakuta et al., 2003; Oyama, 1976).

References
Asher, J. J., and Garcia R. (1969). The optimal age to learn a foreign language. Mod. Lang. J. 53:
334-342.
Bialystok, E., & Hakuta, K. (1994). In other words: The science and psychology of second-
language acquisition. New York: Basic Books.
Bialystok, E., & Miller, B. (1999). The problem of age in second language acquisition:
Influences from language, task, and structure. Bilingualism: Language and Cognition,
2, 127–145.
Birdsong, D. (1992). Ultimate attainment in second language acquisition. Language, 68, 706–
755.
Birdsong, D. & Molis, M.  (2001).On the evidence for maturational Constraints in second-language
acquisition. Journal of Memory and Language . 44, 235-249.
for second-language acquision. American Psychological Society. 14, 31-38.
Bongaerts, T. (1999). Ultimate attainment in foreign language pronunciation: The case of very
advanced late foreign language learners. In D. Birdsong (Ed.), Second language acquisition and the Critical Period Hypothesis(pp. 133–159). Mahwah, NJ: Erlbaum.
Cranshaw, A. (1997). A study of Anglophone native and nearnative linguistic and metalinguistic
performance. Unpublished Ph.D. dissertation, Université de Montréal.
Epstein, S., Flynn, S., & Martohardjono, G. (1996). Second language acquisition: Theoretical
and experimental issues in contemporary research. Behavioral and Brain Sciences, 19, 677–758.
Flege, J. E. (1999). Age of learning and second-language speech. In D. Birdsong (Ed.), Second
language acquisition and the Critical Period Hypothesis (pp. 101–131). Mahwah, NJ: Erlbaum.
Flege, J. E., Frieda, A. M., & Nozawa, T. (1997). Amount of native-language (L1) use affects the  
pronunciation of an L2. Journal of Phonetics, 25, 169–186.
Flege, J. E., Yeni-Komshian, G. H., & Liu, S. (1999). Age constraints on second-language
acquisition. Journal of Memory and Language, 41, 78–104.
Hakuta, K., Bialystok E. & Wiley, E. (2003).Critical Evidence: A test of the critical-period
hypothesis
Jakobovits, L. A. (1970). Foreign Language Learning: A Psycho-linguistic Analysis of the
Issues, Newbury House, Rowley, Mass.
Johnson, J. S., & Newport, E.L. (1989). Critical period effects in second language learning:
The influence of maturational state on the acquisition of English as a second language.
Cognitive Psychology, 21, 60–99.
Johnson, J. S., & Newport, E. L. (1991). Critical period effects on universal properties of
language: The status of subjacency in the acquisition of a second language. Cognition, 39, 215–258.
Krashen, S. (1973). Lateralization, language learning, and the critical period: Some new
evidence. Lang. Learning 23: 63-74.
Labov, W. (1966c). The Social Stratification of English in New York, Center for Applied
Linguistics, Washington, D.C.
Lambert, W. E. (1963). On second language learning and bilingualism. Mod. Lang. Z
47: 114-121.
Larew, L. (1961). The optimum age for beginning a foreign language. Mod. Lang. s
45: 203-206.
Lenneberg, E. H. (1976). Biological foundations of language. New York: Wiley.
Lenneberg, E. H. (1960). Review of Penfield and Roberts' Speech and Brain Mechanisms.
Language 36: 97-112.
Lenneberg, E. H. (1966). Speech development: Its anatomical and physiological concomitants.
In Carterette, E. C. (ed.), Brain Function, Vol. Ill." Speech, Language and Communication, University of California Press, Berkeley, pp. 37-66.
Neter, J., Kutner, M., Nachtsheim, C., & Wasserman, W. (1996). Applied linear statistical
models. Chicago: Irwin.
Oyama, S. (1976).A Sensitive period for the acquisition of a nonnative phonological system.
Journal of Psycholinguistic Research. 5, 261-283.
Penfield, W., & Roberts, L. (1959). Speech and brain mechanisms. Princeton, NJ: Princeton
University Press.
Pulvermüller, F., & Schumann, J. H. (1994). Neurobiological mechanisms of language
acquisition. Language Learning, 44, 681–734.
Salthouse, T.A. (1992). Mechanisms of age-cognition relations in adulthood. Hillsdale,
NJ: Erlbaum.
van Wuijtswinkel, K. (1994). Critical period effects on the acquisition of grammatical
competence in a second language. Unpublished thesis, Katholieke Universiteit,
Nijmegen, The Netherlands.