Selasa, 11 Desember 2012

TEORI KESUSASTRAAN


TEORI KESUSASTRAAN
Oleh Rene Wellek dan Austin Werren
A.    Definisi dan batasan
·         Sastra dan studi sastra
Sastra dan studi sastra yang dalam hal ini dalam buku Rene Wellek dan Austene Warren menerangkan adanya perbedaan dari keduanya. Sastra adalah sebuah kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Studi sastra adalah cabang dari pada ilmu pengetahun. Namun, sastra juga dikatakan sebagai cabang ilmu pengetahuan. Sehingga perbedaan dari keduanya nampak bahwa studi sastra memiliki metode yang formal dan ilmiah, walau tidak selalu sama dengan metode-metode ilmu alam. Bedanya hanya saja ilmu-ilmu alam berbeda dengan tujuan ilmu-ilmu budaya. Ilmu-ilmu alam mempelajari fakta-fakta yang berulang, sedangkan sejarah mengkaji fakta-fakta yang silih berganti. Karya sastra pada dasarnya bersifat umum dan sekaligus bersifat khusus, atau lebih tepat lagi individual dan umum sekaligus. Studi sastra adalah sebuah cabang ilmu pengetahuan yang berkembang terus-menerus.
·         Sifat-sifat sastra
Salah satu batasaan sastra adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak. Nampaknya karya sastra paling tepat diterapkan dalam seni sastra, yaitu sastra sebagai karya imajinatif. Sastra termasuk ilmu multidisplin. Karena selain mengkaji tentang sejarah juga mengkaji cabang ilmu-ilmu lainnya seperti ilmu kedokteran, ekonomi, astronomi dan lain sebagainya. Disamping itu, Bahasa adalah bahan baku dari sastra sebagai medianya dan bahasa itu sendiri bukan benda mati seperti batu, melainkan ciptaan manusia dan mempunyai muatan budaya dan linguistic dari kelompok pemakai bahasa tertentu. Bahasa ilmiah cenderung menyerupai sistem tanda matematika atau logika simbolis. Sedangkan bahasa sastra penuh ambiguitas dan homonym dengan kata lain adalah bahasa sastra sangat konotatif.
·         Fungsi sastra
Fungsi dan sifat sastra tidak dapat dipisahkan. Fungsi puisi sesuai dengan sifat-sifatnya. Edgar Allan Poe melontarkan sastra berfungsi menghibur dan sekaligus mengajarkan sesuatu. Menurut sejumlah teoritikus, fungsi sastra adalah untuk membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekana emosi. Mengekspresikan emosi berarti melepaskan diri dari emosi itu.
·         Teori, kritik dan sejarah sastra
Dalam wilayah studi sastra perlu ditarik perbedaan antara teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Yang pertama-tama perlu dipilah adalah perbedaan sudut pandang yang mendasar. Antara teori, kritik, dan sejarah sastra tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Teori sastra adalah studi prinsip, kategori, dan criteria yang ada pada satra itu sendiri. Kritik sastra adalah studi karya-karya konkret (pendekatan statis). Dan sejarah sastra adalah mempelajari dan menyatukan sejarah sastra masa kini dan masa lampau.
·         Sastra umum, sastra bandingan dan sastra nasional
Istilah sastra bandingan dalam prakteknya menyangkut bidang studi dan masalah lain. Pertama dipakai untuk studi sastra lisan, kedua mencakup studi hubungan antara dua kesusastraan atau lebih, dan yang ketiga sastra bandingan disamakan dengan studi sastra menyeluruh. Sastra bandingan mempelajari hubungan dua kesusastraan atau lebih. Sastra umum mempelajari gerakan dan aliran sastra yang melampaui batas nasional. Sastra nasional menuntut penguasaan bahasa asing dan keberanian untuk menyisihkan rasa kedaerahan yang sulit dihilangkan. Sastra nasional menuntut ppenguasaan bahasa asing dan keberanian untuk menyisihkan rasa kedaerahan yang sulit dihilangkan.

B.     Penelitian pendahuluan
·         Memilih dan menyusun naskah
Salah satu kegiatan ilmuwan adalah mengumpulkan naskah yang akan dipelajarinya, memulihkan dari dampak waktu, dan meneliti identitas pengarang, keaslian, dan tahun penciptaan. Dan semua ini adalah kegiatan persiapan. Ada dua tingkat kegiatan persiapan dalam memilih naskah : (1) Menyusun dan menyiapkan naskah, (2) Menentukan urutan karya menurut waktu penciptaan, memeriksa keaslian, memastikan pengarang naskah, meneliti karya kerja sama dan karya yang sudah diperbaiki oleh pengarang atau penerbit. Dan ada 5 kegiatan dalam menyusun naskah : (1) Menyusun naskah dan mengumpulkan naskah dalam bentuk manuskrip atau cetakan (2) Membuat catalog atau keterangan bibliografi (3) Proses editing (4) Proses menetapkan silsilah teks berbeda dengan kritik teks (5) koreksi teks.
C.    Studi sastra dengan pendekatan ekstrinsik
·         Sastra dan Biografi
Penyebab utama lahirnya karya sastra adalah penciptanya sendiri yakni Sang Pengarang. Biografi dapat dinikmati karena mempelajari hidup pengarang yang jenius, menelusuri perkembangan moral, mental, dan intelektualnya.Dan dapat juga dianggap sebagai studi yang sistematis tentang psikologi pengarang dan proses kreatif. Permasalahan penulis biografi adalah permasalahan sejarah. Penulis biografi harus menginterpretasikan dokumen, surat, laporan saksi mata, ingatan, dan pernyataan otbiografis.
·         Sastra dan psykologi
Psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan. (1) Studi psikologi pengarang sebagai tipe atau studi pribadi. (2) Studi proses kreatif. (3) Studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. (4) Mempelajari dampak sastra pada pembaca. Kemungkinan (1) & (2) bagian dari psikologi seni. Kemungkinan (3) berkaitan pada bidang sastra. Kemungkinan (4) pada bab sastra dan masyarakat. Proses kreatif meliputi seluruh tahapan, mulai dari dorongan bawah sadar yang melahirkan karya sastra pada perbaikan terakhir yang dilakukan pengarang, yang mana pada bagian akhir ini menurut mereka merupakan tahapan yang paling kreatif.
·         Sastra dan masyarakat
Sastra menyajikan kehidupan dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan social, walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif manusia. Penyair adalah warga masyarakat yang mempunyai status khusus, maka dari itu dia mendapat pengakuan dan penghargaan masyarakat dan mempunyai masa-walaupun hanya secara teoretis. Pembahasan hubungan sastra dan masyarakat biasanya bertolak dari frase De Bonald bahwa” sastra adalah ungkapan masyarakat “ (Literature is an expression of society). Masalah kritik yang berbau penilaian bisa kita temukan dengan menemukan hubungan yang nyata antara sastra dan masyarakat. Hubungan yang bersifat deskriptif : (1) Sosiologi pengarang, profesi pengarang, institusi sastra (2) Isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri (3) Permasalahan pembaca dan dampak social karya sastra.

·         Sastra dan pemikiran
Sastra sering dilihat sebagai suatu bentuk filsafat, atau sebagai pemikiran yang terbungkus dalam bentuk khusus. Sastra dianalisis untuk mengungkapkan pemikiuran-pemikiran hebat. Karya sastra dapat dianggap sebagai dokumen sejarah pemikiran dan filsafat, karena sejarah sastra sejajar dan mencerminkan sejarah pemikiran.

D.    Studi sastra dengan pendekatan instrinsik
·         Sastra dan seni
Keterkaitan sastra dan seni seperti dikemukakan oleh Rene Wellek bahwa hubungan sastra dengan seni rupa dan seni music sangat beragam dan rumit. Kadang-kadang puisi mendapat inspirasi dari lukisan, patung, atau music. Karya seni seperti halya benda dan manusia sering menjadi tema dan objek puisi. Hal ini sudah umum, dan tidak mengandung permasalahan teoritis. Hadirnya sastra dapat menciptakan mood tersendiri bagi pembacanya. Karena sastra tersebut terdiri dari pendekatan-pendekatan yang signifikan. Nampaknya, pendekatan utama untuk membandingkan beberapa cabang seni adalah analisis objek seni yang kongkret. Jadi, yang dilihat adalah hubungan structural. Karena hanya dengan menentukan structural dapat diketahui dari beberapa aspek yang berkaitan dengan terbentuknya karya sastra tersebut yaitu unsur instrinsik
·         Modus keberadaan karya sastra
Keberadaan karya sastra hanya dapat diketahui melalui pertanyaan epistimologis. Karena keberadaannya yang bersifat abstrak. Karya sastra muncul sebagai objek pengetahuan sui generis, yang mempumyai status ontologis khusus. Karya sastra bukanlah benda nyata (patung), psykologi (rasa sakit atau penglihatan), atau ideal (segi tiga). Karya sastra adalah system norma dari konsep-konsep ideal yang intersubjectif. Konsep-konsep itu berada dalam ideology kolektif dan berubah bersama ideology tersebut. konsep-konsep itu hanya dapat dicapai melalui pengalaman mental perorangan yang didasarkan pada struktur bunyi kalimatnya
·         Efoni, irama dan matra
Karya sastra adalah urutan bunyi yang menghasilkan makna. Pada sejumlah karya sastra, stratum bunyi memang kadang-kadang kurang penting, bahkan pada sejumlah novel, tidak terlihat fungsinya. Meskipun  demikian, stratum fonetik tetap merupakan prasyarat makna. Dari ketiga unsure tersebut sangat berkaitan dengan karya sastra disamping harus dipelajari juga menunjang terciptanya makna yang baik.
·         Gaya dan stalistika
Bahasa adalah bahan mentah sastrawan. Dapat dikatakan bahwa setiap karya sastra hanyalah seleksi beberapa bagian dari suatu bahasa tertentu, seperti halnya patung dapat dianggap sebagai sebongkah marmer yang dikikis sedikit bagian-bagiannya.
Studi bahasa sangat penting dalam studi puisi. Tetapi yang kita maksudkan dengan studi bahasa disini adalah studi hal-hal yang biasanya diabaikan dan disepelekan oleh ahli-ahli linguistic professional. Kecuali sejumlah pengucapan yang diperlukan untuk sejarah matra dan rima.
Tentu saja stailistika tidak dapat diterapkan dengan baik tanpa dasar linguistic yang kuat, karena salah satu perhatian utamanya adalah kontras system bahasa karya sastra dengan penggunaan bahasa pada zamannya. Tanpa pengetahuan untuk menentukan bahasa yang digunakan dalam keseharian kita dan mana bahasa yang digunakan dalam sastra dan pengatahuan tentang berbagai langgam social zamannya, stailistika bukan sekedar impresionisme belaka. Asumsi bahwa kita sudah mengenal dengan baik. Perbedaan antara bahasa sehari-hari dengan deviasi artistic pada periode awal kesusastraan, saying sekali tidaklah berdasar. Kita masih harus mengadakan penelitian yang lebih mendalam tentang stratifikasi ujaran pada masa lalu, sebelum kita mendapatkan latar yang tepat untuk manila diksi pengarang atau gerakan kesusastraan
·         Citra, metafora, symbol, dan mitos
Pencitraan dalam psikologi merupakan reproduksi mental, suatu ingatan masa lalu yang bersifat indrawi dan berdasarkan persepsi dan tidak selalu bersifat visual. Pencitraan visual merupakan pengindrian atau persepsi, tetapi juga mewakili atau mengacu kepada sesuatu yang tidak nampak, sesuatu yang berada di dalam (inner).
Perbedaan yang terpenting antara symbol dengan metafora dan citra adalah symbol secara terus menerus menampilkan dirinya. Suatu citra dapat dapat dibangkitkan melalui sebuah metafora. Tetapi jika citra itu secara terus menerus muncul sebagai perwujudan yang mewakili sesuatu, citra itu pun menjadi symbol dan bahkan menjadi bagian dari system yang simbolis, yaitu system yang mengandung mitos.


·         Sifat dan ragam fiksi naratif
Salah satu sifat yang dikemukakan oleh rene wellek pengarang buku tersebut adalah bersifat fiksi atau tidak pasti. Dalam hal ini bahwa ilusi kenyataan dan kesan meyakinkan yang ditampilkan kepada pembaca, tidak selalu merupakan kenyataan sehari-hari.
Kebanyakan dari cerita naratif hanya bersumber dari sejarah yang berkaitan dengan waktu atau urutan waktu. Ada beberapa ragam fiksi naratif seperti fable, romance, novel, drama. Kemudian dari ragam fiksi naratif tersebut dikuatkan oleh beberapa struktur naratif seperti alur, latar, penokohan, gaya bahasa.
·         Genre sastra
Teori genre merupakan suatu prinsip keteraturan sastra dan sejarah sastra diklasifikasikan tidak berdasarkan waktu atau tempat, tetapi berdasarkan pada tipe struktur atau susunan sastera tertentu. Semua studi kritik sastra dan penilaian kritik sastra pasti menyangkut pembahasan tentang structure-struktur semacam itu.
Genre harus dilihat sebagai pengelompokan karya sastra, yang secara teoritis didasarkan pad bentuk luar (matra atau struktur tertentu) dan pada bentuk dalam(sikap, nada, tujuan, dan yang lebih kasar, isi, dan khalayak pembaca).
Secara umum, konsepsi kita terhadap genre harus bertolak dari sisi formalistis. Kita sebaiknya membuat genre berdasarkan jumlah suku kata atau bentuk daripada berdasarkan isi (misalnya novel politik, atau novel tentang pekerja pabrik). Kita harus berpikir tentang jenis sastra bukan klasifikasi isi yang juga bisa diterpkan pada karya nonfiksi. Aristotle membagi karya sastra puisi atas epic, drama, dan lirik.
·         Penilaian
Kesimpulan dari Horace bahwa fungsi sastra adalah hiburan dan ajaran atau main dan kerja atau nilai terminal dan nilai instrumental atau seni dan propaganda, atau seni untuk seni dan seni sebagai ritual masyarakat dan penyatu budaya.
Yang menentukan suatu karya sastra atau bukan sastra, bukanlah unsure-unsurnya, tetapi bagaimana unsure-unsur itu disatukan dan berfungsi. Dibakar oleh semangat yang menggebu-gebuh untuk memperbaiki pengertian sastra, para pendukung aliran sastra murni mencap semua karya sastra yang memilki unsure yang bekaitan dengan etika atau pemikiran social sebagai karya yang sok menggurui.
·         Sejarah sastra
Sepanjang sejarah belum ada yang mampu membuat sejarah tentang sastra. Karena hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu; tidak konsisten dan sistematis; prasangkah bahwa sejarah sastra tidak mungkin disusun; keseluruhan konsepsi perkembangan seni sastra  sedikit diragukan.
Tetapi teoritikus yang lain menolak secara mentah-mentah bahwa sastra memiliki sejarah, W.P. mencoba membuktikan misalnya bahwa kita tidak membutuhkan sejarah sastra, karena objek-objek karya sastra selalu ada, bersidat abadi  dan karenanya tidak mempunyai sejarah sama sekali

E.     Kesimpulan
Berdasarkan hasil diskusi kami yang telah dipaparkan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Rene Wellek dan Austen Werren dalam buku Teori Kesusastraan menganut paham strukturalisme. Selain dari pada itu, buku ini mengutamakan pengkajian unsur instrinsik dan ekstrinsik karya sastra. Sehingga masalah di luar sastra pun menjadi bahasan dalam buku ini. Disamping itu, pengkajian dalam buku ini fokus terhadap satu karya sastra yaitu puisi meskipun karya sastra seperti novel, drama dan dan fiksi lainnya disebutkan akan tetapi sangat sedikit.
Reference:
Faruk, 2012. Metode Penelitian Sastra Sebuah Penjelajahan Awal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Holub, C. Robert. 1984. Reception Theory A Critical Introduction. London and New York: Methuen.
Jabrohim, 2012. Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Wellek, Rene dan Austine Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budiayanta dari Theory of literature (1968). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Jumat, 07 Desember 2012


HAKIKAT BAHASA
DALAM HERMENEUTIKA
Perkembangan pemikiran filsafat menunjukkan adanya kesinambungan yang meletakkan bahasa sebagai pusat perhatian para pilosof. Hal yang paling mendasari ilmu filsafat adalah bahasa itu sendiri sebagai persenjataan dalam berpikir untuk dikaji secara cermat. Disamping itu, bahasa juga sebagai penjelas dalam mengungkapkan berbagai fakta-fakta keberadaan suatu peristiwa. Sementara di sisi lain menunjukkan bahwa bahasa tidaklah mungkin dibatasi melalui formulasi logika yang ketat sebagaimana dilakukan oleh atomisme logis dan positivism logis.
Problema-problema yang demikian muncul karena bahasa tersebut hanya menjelaskan secara kontekstual. Maka dengan penuh kesadaran bermunculanlah berbagai macam pemikiran para pilfsuf yang berupaya memahami hakikat kehidupan manusia melalui interpretasi bahasa. Sehingga seorang yang berkebangsaan jerman dan perancis mengembangkan pemikiran filasafat yang mendasar pada hermeneutika. Hermeneutika memberikan pandangan hakikat bahasa bagaimana cara kita memahami kenyataan dan cara kenyataan tampil pada kita.
Berkaitan dengan penelusuran realitas hermeneutika dalam pemaknaan kehidupan, maka sejumlah pakar yang bergelut di bidang pemikiran filsafat hermeneutika mengemukakan berbagai teori dan konsep masing-masing yang mereka yakini.
1.       Frienderich Schleiermacher
Menurut schleiermarcher, pemahaman adalah suatu rekonstruksi yang bertolak dari ekspresi yang telah diungkapkan dan mengarah  kembali ke suasana kejiwaan dimana ekspresi tersebut diungkapkan. Dalam masalah ini terdapat dua masalah pokok yang saling berhubungan dan berinteraksi, yaitu momen tata bahasa dan momen kejiwaan. Sedangkan prinsip yang menjadi tumpuan rekonstruksi bidang tata bahasa dan bidang kejiwaan diistilahkan dengan lingkaran hermeneutika. Bilamana seseorang memahami sesuatu, hal itu terjadi dengan analogi yaitu dengan jalan membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain yang sudah diketahuinya. Bahasa yang merupakan unsure yang fundamental dalam hermeneutika yaitu merupakan suatu system, artinya suatu kata ditentukan artinya lewat makna fungsionalnya dalam kalimat secara keseluruhan, dan makna kalimat ditentukan lewat arti satu persatu dari kata yang membentuk kalimat tersebut.
2.       Wilhem Dilthey
Pemikiran filsafat dilthey dikenal dengan filsafat hidup karena ia berupaya untuk menganalisis proses pemahaman yang membuat kita dapat mengetahui kehidupan pikiran (kejiwaan) kita sendiri dan kehidupan jiwa orang lain. Kenyataan hidup adalah berlawanan dengan segala sesuatu yang hanya bersifat eksak, demikian juga kenyataan hidup berlawanan dengan segala sesuatu yang dirumuskan dalam pengertian dan arti secara essensial. Menurut dilthey menerangkan hidup manusia, eksistemsi manusia tidak mungkin dapat dijelaskan dengan menggunakan konsepsi-konsepsi ilmu pengetahuan.
Tugas hermeneutika menurut Dilthey adalah untuk melengkapi teori pembuktian validitas universal interpretasi agar mutu sejarah tidak tercemari oleh pandangan yang tidak dapat dipertangggungjawabkan. Ada beberapa prinsip yang dikemukakan oleh dilthey sebagai berikut; perlu adanya latar belakang pendidikan pengetahuan yang bersifat grammatical kebahasaan serta bersifat sejarah agar mampu mempertimbangkan sejumlah karya-karya dalam penggunaan bahasa, membaca keseluruhan secara berturut-turut dan membangun menjadi suatu gambaran yang bersifat saling bertautan(koherence), suatu karya dapat terungkapkan secara lebih penuh lewat karya-karya lain si pengarang.
Berdasarkan prinsip-prinsip hermeneutika sebagaimana diukemukakan Dilthey tersebut nampak pada kita bahwa bahasa memiliki peranan yang sentral, karena proses dan dimensi hidup manusia tercover oleh bahasa.
3.       Martin Heidigger
Filsafat Heeidigger termasuk pemikiran filsafat yang sangat cermat dan memiliki nuansa yang sangat mendalam. Pemikiran Heidigger meliputi dua periode, sehingga komentator Richardson membedakan Heidigger I dan Hidigger II. Periode pertama meliputi ada dan waktu menurut banyak ahli karya tersebut belums sepenuhnya tuntas. Dalam pembahasannya periode pertama ia membahas tentang “ada” dan satu-satunya makhluk yang mempertanyakan tentang ada dalam manusia. Pemikiran kedua hedigger disebutkan sebagai suatu pengertian kahre secara harfiah artinya pambalikan. Namun demikian tidak seperti Wittgenstein, dalam pemikirannya pertama dan kedua saling bertolak belakan, pada pemikiran heidigger pemikiran periode pertama dan kedua senatiasa terdapat koherensi atau berkesinambungan.
Pemikiran filsafat Heidigger pada hakikatnya adalah merupakan suatu filsafat bahasa yang berbeda dengan filsafat analitik. Pada umumnya bahasa bahasa diperlukan sebagai alat komunikasi manusia, untuk menyampaikan sesuatu dalam hidup manusia. Bahasa hanya berfungsi sebagai alat manusia untuk mendapatkan suatu informasi. Sedangkan bahasa yang sesungguhnya yang dikemukakan oleh heidigger adalah tidak hanya merupakan sarana belaka, melainkan hakikat bahasa adalah bahasa hakikat artinya berpikir adalah suatu jawaban, tanggapan atau respond dan bukan manipulasi idea yang hakikatnya telah terkandung dalam proses penuturan bahasa dan bukan hanya sebagai alat belaka. Bahasa pada hakikatnya dipandang sebagai berkaitan secara langsung dengan proses penyampaian arti.
Menurut Heidegger faktisitas keberadaan merupakan sesuatu yang jauh lebih fundamental, dari pada kesadaran dan pengetahuan manusia. Fenomonologi hermeneutic Heidegger adalah suatu fenemonologi tentang ada, suatu hermeneutika tentang ada, suatu hermeneutika yang membuka sesuatu yang tersembunyi, bukan interpretasi atas interpretasi, melainkan kegiatan primal interpretasi yang membuka tentang hakikat ada menjadi terbuka.
Heidigger menguraikan bagaimana proses pemahaman. Sehingga dengan demikian menyatakan bahwa manusia tidak pernah hidup hanya tertentu, melainkan ia senantiasa hidup dari masa lalu ke masa depan. Manusia berada pada masa tertentu yang pada hakikatnya senantiasa merupakan keterkaitan antara masa lalu dan masa yang akan datang.
Dengan demikian menurut Heidigger berpikir bukanlah menggambarkan, bukan menvisualisasikan sesuatu di depan mata, melainkan untuk mendapatkan sesuatu keterangan dan mendapatkan suatu pengetian tentang sein. Berpikir tidak konseptual; menurut heidigger berarti tidak memikirkan bahasa sebagai sesuatu yang dibatasi artinya secara jelas dan ditetapkan secara rasional, sehingga terkotak-kotak karena ditentukan konsepnya. Akan tetapi berpikir yang demikian ini adalah suatu pemaksaan pada realitas, sehingga dengan demikian tidak dapat menangkap hakikat realitas, sehingga dengan demikian tidak dapat menangkap hakikat realitas secara objektif.
4.       Hans Georg Gadamer
Pemikiran gadamer lebih menekankan pandangan heidigger bahwa mengerti merupakan suatu proses yang melingkar. Untuk mencapai pengertian maka seseorang harus bertolak dari pengertian, misalnya untuk mengerti suatu teks maka harus memiliki prapengertian tentang teks tersebut. jika tidak maka sekali-kali tidak mungkin mampu mencapai pengertian tentang teks tersebut. sedangkan di pihak lain dengan membaca teks prapengertian terwujud menjadi pengertian yang sungguh-sungguh. Hermeneutika gadamer tidak hanya berkaitan dengan ilmu pengetahuan budaya saja melainkan juga berkaitan dengan bidang seni. Ia mengawali bukunya dengan menganalisis seni secara hermeneutic. Ia memperlihatkan bahwa perkembangan dalam ilmu pengetahuan alam mengakibatkan perubahan juga dalam penialaian manusia terhadap bentuk-bentuk pengenalan yang lainnya, misalnya pengalaman estetis.
Bagi gadamer bahasa adalah realitas yang tak terpisahkan dari pengalaman hidup, pemahaman, pikiran atau das sein. Karena bahasa juga tidak pernah ditnagkap sebagai faktrum atau hanya merupakan realitas empiric saja. Bahasa menurut gadammer adalah prinsip, bahasa merupakan perantaraan pengalaman hermeneutic. Bahasa merupakan perantaraan bukan hanya sebagai alat, namun bahasa sebagai suatu cakrawala ontology hermeneutic.
Lingustik modern mengembangkan suatu pengertian bahasa sebagai suatu system tanda yang bermakna yang merupakan sarana komunikasi manusia, sebagaimana dikemukakan oleh Ferdinand desassure maupun Cassier. Dengan demikian manusia bertolak dari kata-kata dan mempertanyakan apa dan bagaimana tanda-tanda menyampaikan sesuatu kepada manusia yang menggunakannya. Jadi tidak lagi berangkat dari situasi atau realitasnya untuk empertanyakan keberadaan kata-kata serta kenyataan kata-kata sebagai perantaraan. Sesuai dengan hakikatnya sebagai tanda, maka fungsi kata tidak lain adalah untuk diterapkan.
Bahasa menurut pendapat Gadamer merupakan perantara bagi pewarisan dan pengungkapan, pengalamaan kebahasaan menunjukkan bahwa penglaman manusia tidak mungkin mendahului bahasa akan tetapi penglaman terjadi lewat dan dalam bahasa. berdasarkan kenyataan manusia tidak memiliki dan tidak mengendalikan bahasa, akan tetapi mempelajari dan menyesuaikan diri dalam bahasa.
Berdasarkan pemikirannya tentang hakikat bahasa secara ontologis, Gadamer mengambangkan pemikiran tentang struktur bahasa secara instrinsik spekulatif. Bahasa senantiasa dialami sebagai proses penyingkapan, proses dassein yang menbahasa yaitu termanifestasi dalam bahasa. pemikiran Gadamer tentang struktur spekulasi bahasa ini nampaknya ada kemiripan dengan teori gambar dari Wittgenstein. Namun peerbedaan yang essensial adalah bilamana Wittgenstein mendasarkan pada logika bahasa, sedangkan Gadamer lebih menekankan pada aspek metafisiknya.
Gadamer mengembangkan pengertian hermeneutika yang berpusat pada bahasa yang besifat ontologis, dialektis dan spekulatif. Tujuan hermeneutiknya bukanlah suatu metode, bukan pula membuat aturan-aturan yang secara objektif sah melainkan memahami pemahaman sekomperhensif mungkin. Konsepsi gadamer tentang hakikat bahasa sebagaimana lazimnya berkembang saat itu, bahkan pengertian bahasa sejak zaman yunani. Bahasa tidak dipandang sebagai struktur empiric yang memiliki makna yang merupakan sarana komunikasi antar manusia. Gadamer meletakkan bahasa pada posisinya yang bersifat ontologis, sehingga bahasa menurut gadamer tidak hanya sekedar sebagai alat atau sarana komunikasi belaka melainkan merupakan sesuatu yang mengungkapkan tentang hakikat ada.
5.       Jurgen habermas
                Berdasarkan pemikiran jurgen habermas tentang hermeneutika dan bahasa ia membedakan antara penjelasan dan pemahaman. Habermas menekankan bahwa kita tidak dapat memahami sepenuhnya makna suatu fakta, sebab ada juga fakta yang tidak dapat diinterpretasi. Bahkan kita tidak dapat melakukan interpretasi secara tuntas, sebab selalu terdapat makna yang lebih, yang tidak dapat dijangkau oleh interpretasi, yaitu terdapat dalam hal-hal yang tidak teranalisiskan, tidak terjabarkan bahkan di luar pikiran kita. Semua hal tersebut senantias mengalir di dalam hidup kita.
Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa pemikiran Jurgen Habermas menerapkan bahasa merupakan unsure yang fundamental dalam hermeneutika. Analisis terhadap fakta dilakukan melalui hubungan symbol-simbol tersebut sebagai symbol dari fakta. Sebagaimana diketahui dalam ilmu bahasa bahwa bahasa adalah merupakan suatu system symbol, yang memiliki makna dan pengertian makna adalah arti yang mengacu pada suatu fakta atau peristiwa.
Dalam ilmu pengetahuan hermeneutic, bahasa sehari-hari dipergunakan untuk berkomunikasi dalam konteks kehidupan yang konkret, sehingga bahasa itu mengungkapkan makna yang indifidual. Habermas mengharapkan dari hermeneuitika munculnya sebuah tipe penjelasan yang menunjukkan bahwa susunan kata-kata dalam bahasa murni tidak memungkinkan terjadinya komunikasi walaupun tidak secara langsung, hal yang sama sekali indifidual.
Pengalaman hermeneutic dapat melibatkan tiga kelas ekspresi kehidupan: linguistic, tindakan dan pengalaman. Dari ketiga jenis tersebut habemas mengatakan bahwa pemahaman hermeneutic harus mengintegrasikan ketiga kelas ungkapan itu. Pemikiran habermas tersebut nampaknya masih mendasarkan bahasa sebagai sarana komunikasi, sehingga dengan demikian bahasa memiliki fungsi pragmatis dalam hermeneutika, yaitu senantiasa tidak dapat dipisahkan dengan expresi tubuh dan pengalaman. Hal inilah yang merupakan kesulitan dalam proses hermeneutika, karena linguistic sifatnya verbal yang memiliki makna, ekspresi tubuh manusia bersifat dinamis dan hal ini diungkapkan secara verbal yaitu melalui bahasa, adapun pengalaman sangat terikat oleh dimensi waktu, karena berkaitan dengan suatu peristiwa pada masa yang telah lampau.
Hubungan antara bahasa, pengalaman dan tindakan tersatukan melalui struktur dialektika yang ditunjukkan dalam bukunya yang berjudul “the theory of communicative action” habermas membagi menjadi empat macam yaitu”
·         Tindakan teleologis: tindakan yang mempertahankan tujuan khusus dan untuk mencapainya dibutuhkan sarana yang tepat dan sesuai yaitu keputusan.
·         Tindakan normative: tindakan yang terutama tidak diarahkan pada laku actor soliter melainkan diarahkan pada anggota-anggota kelompok social/
·         Tindakan dramaturgic: peserta bertindak yang ditujukan kepada masyarakat umum atau pendengarnya.
·         Tindakan komunikative: tindakan yang menunuk kepada interaksi, sekurang-kurnagnya dari dua orang yang memiliki kemampuan berbicara dan bertindak, serta dapat membentuk hubungan antarpribadi baik secara verbal maupun nonverbal.

6.       Paul Ricoeur
Sifat radikal kaum structuralism itu membawa Ricouer pada pemikirannya tentang filsafat bahasa terutama dalam kaitannya dengan hermeneutika teks. Ricouer mengakui bahwa sifat bahasawi (the lingual character) dari symbol-simbol dan symbol-simbol itu memang tercantum dalam system bahasawi.
Setiap interpretasi menurut ricouer adalah suatu usaha untuk membongkar makna-makna yang masih terselubung atau usaha-usaha untuk membuka lipatan-lipatan dari tingkatan-tingkatan makna yang terkandung dalam makna kesusastraan. Dalam hal ini nampaknya Ricouer ingin menyatakan bahwa terdapat suatu kebutuhan laten dalam bahasa untuk mengungkapkan konsep-konsep melalui kata-kata. Kebutuhan laten tersebut adalah kebutuhan akan hereneutika.
Makna bahasa dalam hermeneutica yang pada hakikatnya merupakan suatu system symbol yang terdiri atas unsure-unsur kata. Maka sebuah kata juga merupakan sebuah symbol, sebab keduanya bersama-sama hadir dalam bentuk yang lain. Salah satu sasaran yang hendak dituju oleh berbagai macam hermeneutika adalah suatu perjuangan melawan distansi cultural, yaitu penafsir harus mengambil jarak agar ia dapat membuat interpretasi yang baik.
Bahasa adalah bidang dimana semua pengamatan filosofis saling memotong satu sama lain. Bahasa adalah media bertemunya logika, fenomonologi, eksistensialisme, tafsir kitab suci dan hermeneutika bahkan menurut ricouer juga psikoanalisis. Bahasa dinyatakan dalam bentuk symbol, demikian juga pengalaman dibaca melalui pernyataan atau ungkapan symbol-simbol. Kita mengungkapkan gagasan-gagasan, emosi, kesusastraan, filsafat bahkan ilmu pengetahuan semuanya melalui bahasa.
Peranan bahasa dalam pemahaman terdapat tiga langkah yaitu:
·         Pemahaman itu berlangsung dari penghayatan dan symbol-simbol yang dalam hal ini bahasa, kegagasan tentang berpikir dari symbol-simbol.
·         Pemberian makna oleh symbol-simbol serta penggalian yang cermat atas makna.
·         Langkah yang benar-benar pilosofis yaitu berpikir dengan menggunakan symbol-simbol sebagai titik tolaknya.
Ketiga langkah-langkah tersebut sangat erat berhubungan dengan pemahaman bahasa yaitu; semantic, refleksi dan eksistensial atau ontologis. Langkah semantic adalah pemahaman pada kalimat-kalimat, kata-kata serta makna makna yang terkandung di dalamnya. Pemahaman refleksif adalah pemahaman pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu yang mendekati tingkat ontologis, adapun pemahaman eksistensif atau ontologis adalah pemahaman pada tingkat being atau hakikat keberadaan antara makna keadaan itu sendiri.
Oleh karena itu filsafat sudah saatnya untuk membenahi diri akan peranannya, yang sangat vital bagi keselamatan dan kelangsungan hidup umat manusia. Problema-problema kongkrit dan realistic umat manusia dewasa ini menantikan aluran tangan para pendekar piker, untuk memberikan suatu solusi yang realistic pula, dan bukannya suatu kontemplasi utopis.
7.       Jacques Derrida
Berdasarkan pemikiran Derrida, hal ini dipengaruhi oleh dua aliran filsafat yaitu fenomenology dan strukturalisme. Hal ini dapat terlihat dari beberapa ucapannya dan fenomena. Bagi Derrida filsafat tidak dapat dipertantangkan dengan ilmu pengetahuan, tidak masuk akal jikalau filsafat telah disingkirkan ilmu pengetahuan dan bahwa filsafat sudah tidak memiliki ruang gerak lagi karena perkembangan ilmu pengetahuan.
Menurut pandangan Derrida tentang keeksistensian ini akan nampak dengan jelas, bilamana kita mempelajari metafisika mengenai tanda. Dalam tradisi metafisika bahwa tanda menghadirkan sesuatu yang tidak hadir, tanda yang menggantikan sesuatu yang tidak hadir. Dengan demikian dalam pandangan metafisika tanda ahirnya selalu menunjuk kepada objek itu sendiri sebagai hadir, tanda hanya sekedar pengganti yang untuk sementara menunda hadirnya objek itu sendiri.
Dalam pemikiran filosofisnya Derrida sangat banyak memberi perhatian terhadap bahasa, bahkan pemikiran filosisnya tentang dekonstruksi dalam postmodernisme juga dilakukan melalui filsafat bahasa. Derrida membedakan antara tanda tangan symbol, yang merupakan problema pilosofis dalam filsafat bahasa. system tanda tersebut bersifat arbitrer dan tidak menurut kodratnya sebagaimana adanya.
Derrida berkayakinan bahwa meskipun orang belum mengucapkan kata-kata, namun tulisan  sudah siap untuk dicurahkan. Tulisan dibatasi oleh bahasa yang diucapkan oleh secara lisan, dan karena ucapan maka makna tertunda dalam tulisan. Apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh derrida adalah bahwa tulisan merupakan suatu fait accomplit, sesuatu yang sudah selesai dan terlaksana pada saat orang berbicara.
Derrida menunjukkan bahwa bahasa tidak lain adalah interpersonal. Sehingga nampak hubungan yang jelas antara fenomenalogy dengan hermeneutika, jikalau makna hanya muncul yang pada taraf yang paling dalam, bahasa yang dipergunakan untuk berbicara harus diselidiki, apakah bahasa itu keluar dari emanasi taraf pertama atau kedua. Dari pandangan Derrida tentang bahasa dengan hermeneutika untuk membuat suatu kritik. Ia mengatakan bahwa setiap kata mempunyai arti atau makna, namun tandanya berbeda-beda. Membaca sebuah teks merupakan suatu perumusan kembali pandangan dunia yang terdapat dalam proses membaca. Kritik termasuk pandangan dunia dari pengarang, sedangkan membaca termasuk dalam dalam arti tanda-tanda dalam kata-kata. Jika kritik tidak dapat menyusup masuk ke dalam arus utama dari jalan pikiran pengarang atau jikalau gagal gagal mendalami pandangan dunia dari pengarang, maka kritik itu sebenarnya tidak ada artinya sama sekali.
Makna bahasa menurut pandangan Derrida setelah mengembangkan beberapa pendapat pilosof menyimpulkan secara ontologis tulisan mendahului ucapan. Tulisan dapat menjadi jejak yang bisu namun juga dapat menjadi saksi dari yang tidak hadir dan belum dapat terkatakan. Yang dapat mendahulukan tulisan daripada ucapan hanyalah yang berasal dari alam, bukan dari waktu.
Dengan demikian makna bukanlah urusan struktur, makna tidak dapat dibangun dalam ucapan, oleh karena itu Derrida menentang pernyataan para pakar linguistic structural. Hal ini dikarenakan jikalau makna sudah terbentuk di dalam bahasa, maka orang tidak akan membutuhkan hermeneutika atau interpretasi lagi. Makna sebagaimana terbawa oleh suara, selalu memberikan penjelasan kepada pendengarnya. Tindakan mendengarkan masih merupakan cara kerja penyelidikan hermeneutika. Hal ini berarti bahwa kebenaran tidak dapat menjadi kebenaran monolitik dari being selama masih ada kebenaran-kebenaran lain tampil di dalam sejarah berbagai zaman.

References:
Jabrohim. 2012. Teori Penelitian Sastra. Pustaka Pelajar: Jogjakarta.
Kaelan. 1998. Filsafat Bahasa Masalah dan Perkembangannya. Paradigma: Jogjakarta.