Jumat, 07 Desember 2012


HAKIKAT BAHASA
DALAM HERMENEUTIKA
Perkembangan pemikiran filsafat menunjukkan adanya kesinambungan yang meletakkan bahasa sebagai pusat perhatian para pilosof. Hal yang paling mendasari ilmu filsafat adalah bahasa itu sendiri sebagai persenjataan dalam berpikir untuk dikaji secara cermat. Disamping itu, bahasa juga sebagai penjelas dalam mengungkapkan berbagai fakta-fakta keberadaan suatu peristiwa. Sementara di sisi lain menunjukkan bahwa bahasa tidaklah mungkin dibatasi melalui formulasi logika yang ketat sebagaimana dilakukan oleh atomisme logis dan positivism logis.
Problema-problema yang demikian muncul karena bahasa tersebut hanya menjelaskan secara kontekstual. Maka dengan penuh kesadaran bermunculanlah berbagai macam pemikiran para pilfsuf yang berupaya memahami hakikat kehidupan manusia melalui interpretasi bahasa. Sehingga seorang yang berkebangsaan jerman dan perancis mengembangkan pemikiran filasafat yang mendasar pada hermeneutika. Hermeneutika memberikan pandangan hakikat bahasa bagaimana cara kita memahami kenyataan dan cara kenyataan tampil pada kita.
Berkaitan dengan penelusuran realitas hermeneutika dalam pemaknaan kehidupan, maka sejumlah pakar yang bergelut di bidang pemikiran filsafat hermeneutika mengemukakan berbagai teori dan konsep masing-masing yang mereka yakini.
1.       Frienderich Schleiermacher
Menurut schleiermarcher, pemahaman adalah suatu rekonstruksi yang bertolak dari ekspresi yang telah diungkapkan dan mengarah  kembali ke suasana kejiwaan dimana ekspresi tersebut diungkapkan. Dalam masalah ini terdapat dua masalah pokok yang saling berhubungan dan berinteraksi, yaitu momen tata bahasa dan momen kejiwaan. Sedangkan prinsip yang menjadi tumpuan rekonstruksi bidang tata bahasa dan bidang kejiwaan diistilahkan dengan lingkaran hermeneutika. Bilamana seseorang memahami sesuatu, hal itu terjadi dengan analogi yaitu dengan jalan membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain yang sudah diketahuinya. Bahasa yang merupakan unsure yang fundamental dalam hermeneutika yaitu merupakan suatu system, artinya suatu kata ditentukan artinya lewat makna fungsionalnya dalam kalimat secara keseluruhan, dan makna kalimat ditentukan lewat arti satu persatu dari kata yang membentuk kalimat tersebut.
2.       Wilhem Dilthey
Pemikiran filsafat dilthey dikenal dengan filsafat hidup karena ia berupaya untuk menganalisis proses pemahaman yang membuat kita dapat mengetahui kehidupan pikiran (kejiwaan) kita sendiri dan kehidupan jiwa orang lain. Kenyataan hidup adalah berlawanan dengan segala sesuatu yang hanya bersifat eksak, demikian juga kenyataan hidup berlawanan dengan segala sesuatu yang dirumuskan dalam pengertian dan arti secara essensial. Menurut dilthey menerangkan hidup manusia, eksistemsi manusia tidak mungkin dapat dijelaskan dengan menggunakan konsepsi-konsepsi ilmu pengetahuan.
Tugas hermeneutika menurut Dilthey adalah untuk melengkapi teori pembuktian validitas universal interpretasi agar mutu sejarah tidak tercemari oleh pandangan yang tidak dapat dipertangggungjawabkan. Ada beberapa prinsip yang dikemukakan oleh dilthey sebagai berikut; perlu adanya latar belakang pendidikan pengetahuan yang bersifat grammatical kebahasaan serta bersifat sejarah agar mampu mempertimbangkan sejumlah karya-karya dalam penggunaan bahasa, membaca keseluruhan secara berturut-turut dan membangun menjadi suatu gambaran yang bersifat saling bertautan(koherence), suatu karya dapat terungkapkan secara lebih penuh lewat karya-karya lain si pengarang.
Berdasarkan prinsip-prinsip hermeneutika sebagaimana diukemukakan Dilthey tersebut nampak pada kita bahwa bahasa memiliki peranan yang sentral, karena proses dan dimensi hidup manusia tercover oleh bahasa.
3.       Martin Heidigger
Filsafat Heeidigger termasuk pemikiran filsafat yang sangat cermat dan memiliki nuansa yang sangat mendalam. Pemikiran Heidigger meliputi dua periode, sehingga komentator Richardson membedakan Heidigger I dan Hidigger II. Periode pertama meliputi ada dan waktu menurut banyak ahli karya tersebut belums sepenuhnya tuntas. Dalam pembahasannya periode pertama ia membahas tentang “ada” dan satu-satunya makhluk yang mempertanyakan tentang ada dalam manusia. Pemikiran kedua hedigger disebutkan sebagai suatu pengertian kahre secara harfiah artinya pambalikan. Namun demikian tidak seperti Wittgenstein, dalam pemikirannya pertama dan kedua saling bertolak belakan, pada pemikiran heidigger pemikiran periode pertama dan kedua senatiasa terdapat koherensi atau berkesinambungan.
Pemikiran filsafat Heidigger pada hakikatnya adalah merupakan suatu filsafat bahasa yang berbeda dengan filsafat analitik. Pada umumnya bahasa bahasa diperlukan sebagai alat komunikasi manusia, untuk menyampaikan sesuatu dalam hidup manusia. Bahasa hanya berfungsi sebagai alat manusia untuk mendapatkan suatu informasi. Sedangkan bahasa yang sesungguhnya yang dikemukakan oleh heidigger adalah tidak hanya merupakan sarana belaka, melainkan hakikat bahasa adalah bahasa hakikat artinya berpikir adalah suatu jawaban, tanggapan atau respond dan bukan manipulasi idea yang hakikatnya telah terkandung dalam proses penuturan bahasa dan bukan hanya sebagai alat belaka. Bahasa pada hakikatnya dipandang sebagai berkaitan secara langsung dengan proses penyampaian arti.
Menurut Heidegger faktisitas keberadaan merupakan sesuatu yang jauh lebih fundamental, dari pada kesadaran dan pengetahuan manusia. Fenomonologi hermeneutic Heidegger adalah suatu fenemonologi tentang ada, suatu hermeneutika tentang ada, suatu hermeneutika yang membuka sesuatu yang tersembunyi, bukan interpretasi atas interpretasi, melainkan kegiatan primal interpretasi yang membuka tentang hakikat ada menjadi terbuka.
Heidigger menguraikan bagaimana proses pemahaman. Sehingga dengan demikian menyatakan bahwa manusia tidak pernah hidup hanya tertentu, melainkan ia senantiasa hidup dari masa lalu ke masa depan. Manusia berada pada masa tertentu yang pada hakikatnya senantiasa merupakan keterkaitan antara masa lalu dan masa yang akan datang.
Dengan demikian menurut Heidigger berpikir bukanlah menggambarkan, bukan menvisualisasikan sesuatu di depan mata, melainkan untuk mendapatkan sesuatu keterangan dan mendapatkan suatu pengetian tentang sein. Berpikir tidak konseptual; menurut heidigger berarti tidak memikirkan bahasa sebagai sesuatu yang dibatasi artinya secara jelas dan ditetapkan secara rasional, sehingga terkotak-kotak karena ditentukan konsepnya. Akan tetapi berpikir yang demikian ini adalah suatu pemaksaan pada realitas, sehingga dengan demikian tidak dapat menangkap hakikat realitas, sehingga dengan demikian tidak dapat menangkap hakikat realitas secara objektif.
4.       Hans Georg Gadamer
Pemikiran gadamer lebih menekankan pandangan heidigger bahwa mengerti merupakan suatu proses yang melingkar. Untuk mencapai pengertian maka seseorang harus bertolak dari pengertian, misalnya untuk mengerti suatu teks maka harus memiliki prapengertian tentang teks tersebut. jika tidak maka sekali-kali tidak mungkin mampu mencapai pengertian tentang teks tersebut. sedangkan di pihak lain dengan membaca teks prapengertian terwujud menjadi pengertian yang sungguh-sungguh. Hermeneutika gadamer tidak hanya berkaitan dengan ilmu pengetahuan budaya saja melainkan juga berkaitan dengan bidang seni. Ia mengawali bukunya dengan menganalisis seni secara hermeneutic. Ia memperlihatkan bahwa perkembangan dalam ilmu pengetahuan alam mengakibatkan perubahan juga dalam penialaian manusia terhadap bentuk-bentuk pengenalan yang lainnya, misalnya pengalaman estetis.
Bagi gadamer bahasa adalah realitas yang tak terpisahkan dari pengalaman hidup, pemahaman, pikiran atau das sein. Karena bahasa juga tidak pernah ditnagkap sebagai faktrum atau hanya merupakan realitas empiric saja. Bahasa menurut gadammer adalah prinsip, bahasa merupakan perantaraan pengalaman hermeneutic. Bahasa merupakan perantaraan bukan hanya sebagai alat, namun bahasa sebagai suatu cakrawala ontology hermeneutic.
Lingustik modern mengembangkan suatu pengertian bahasa sebagai suatu system tanda yang bermakna yang merupakan sarana komunikasi manusia, sebagaimana dikemukakan oleh Ferdinand desassure maupun Cassier. Dengan demikian manusia bertolak dari kata-kata dan mempertanyakan apa dan bagaimana tanda-tanda menyampaikan sesuatu kepada manusia yang menggunakannya. Jadi tidak lagi berangkat dari situasi atau realitasnya untuk empertanyakan keberadaan kata-kata serta kenyataan kata-kata sebagai perantaraan. Sesuai dengan hakikatnya sebagai tanda, maka fungsi kata tidak lain adalah untuk diterapkan.
Bahasa menurut pendapat Gadamer merupakan perantara bagi pewarisan dan pengungkapan, pengalamaan kebahasaan menunjukkan bahwa penglaman manusia tidak mungkin mendahului bahasa akan tetapi penglaman terjadi lewat dan dalam bahasa. berdasarkan kenyataan manusia tidak memiliki dan tidak mengendalikan bahasa, akan tetapi mempelajari dan menyesuaikan diri dalam bahasa.
Berdasarkan pemikirannya tentang hakikat bahasa secara ontologis, Gadamer mengambangkan pemikiran tentang struktur bahasa secara instrinsik spekulatif. Bahasa senantiasa dialami sebagai proses penyingkapan, proses dassein yang menbahasa yaitu termanifestasi dalam bahasa. pemikiran Gadamer tentang struktur spekulasi bahasa ini nampaknya ada kemiripan dengan teori gambar dari Wittgenstein. Namun peerbedaan yang essensial adalah bilamana Wittgenstein mendasarkan pada logika bahasa, sedangkan Gadamer lebih menekankan pada aspek metafisiknya.
Gadamer mengembangkan pengertian hermeneutika yang berpusat pada bahasa yang besifat ontologis, dialektis dan spekulatif. Tujuan hermeneutiknya bukanlah suatu metode, bukan pula membuat aturan-aturan yang secara objektif sah melainkan memahami pemahaman sekomperhensif mungkin. Konsepsi gadamer tentang hakikat bahasa sebagaimana lazimnya berkembang saat itu, bahkan pengertian bahasa sejak zaman yunani. Bahasa tidak dipandang sebagai struktur empiric yang memiliki makna yang merupakan sarana komunikasi antar manusia. Gadamer meletakkan bahasa pada posisinya yang bersifat ontologis, sehingga bahasa menurut gadamer tidak hanya sekedar sebagai alat atau sarana komunikasi belaka melainkan merupakan sesuatu yang mengungkapkan tentang hakikat ada.
5.       Jurgen habermas
                Berdasarkan pemikiran jurgen habermas tentang hermeneutika dan bahasa ia membedakan antara penjelasan dan pemahaman. Habermas menekankan bahwa kita tidak dapat memahami sepenuhnya makna suatu fakta, sebab ada juga fakta yang tidak dapat diinterpretasi. Bahkan kita tidak dapat melakukan interpretasi secara tuntas, sebab selalu terdapat makna yang lebih, yang tidak dapat dijangkau oleh interpretasi, yaitu terdapat dalam hal-hal yang tidak teranalisiskan, tidak terjabarkan bahkan di luar pikiran kita. Semua hal tersebut senantias mengalir di dalam hidup kita.
Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa pemikiran Jurgen Habermas menerapkan bahasa merupakan unsure yang fundamental dalam hermeneutika. Analisis terhadap fakta dilakukan melalui hubungan symbol-simbol tersebut sebagai symbol dari fakta. Sebagaimana diketahui dalam ilmu bahasa bahwa bahasa adalah merupakan suatu system symbol, yang memiliki makna dan pengertian makna adalah arti yang mengacu pada suatu fakta atau peristiwa.
Dalam ilmu pengetahuan hermeneutic, bahasa sehari-hari dipergunakan untuk berkomunikasi dalam konteks kehidupan yang konkret, sehingga bahasa itu mengungkapkan makna yang indifidual. Habermas mengharapkan dari hermeneuitika munculnya sebuah tipe penjelasan yang menunjukkan bahwa susunan kata-kata dalam bahasa murni tidak memungkinkan terjadinya komunikasi walaupun tidak secara langsung, hal yang sama sekali indifidual.
Pengalaman hermeneutic dapat melibatkan tiga kelas ekspresi kehidupan: linguistic, tindakan dan pengalaman. Dari ketiga jenis tersebut habemas mengatakan bahwa pemahaman hermeneutic harus mengintegrasikan ketiga kelas ungkapan itu. Pemikiran habermas tersebut nampaknya masih mendasarkan bahasa sebagai sarana komunikasi, sehingga dengan demikian bahasa memiliki fungsi pragmatis dalam hermeneutika, yaitu senantiasa tidak dapat dipisahkan dengan expresi tubuh dan pengalaman. Hal inilah yang merupakan kesulitan dalam proses hermeneutika, karena linguistic sifatnya verbal yang memiliki makna, ekspresi tubuh manusia bersifat dinamis dan hal ini diungkapkan secara verbal yaitu melalui bahasa, adapun pengalaman sangat terikat oleh dimensi waktu, karena berkaitan dengan suatu peristiwa pada masa yang telah lampau.
Hubungan antara bahasa, pengalaman dan tindakan tersatukan melalui struktur dialektika yang ditunjukkan dalam bukunya yang berjudul “the theory of communicative action” habermas membagi menjadi empat macam yaitu”
·         Tindakan teleologis: tindakan yang mempertahankan tujuan khusus dan untuk mencapainya dibutuhkan sarana yang tepat dan sesuai yaitu keputusan.
·         Tindakan normative: tindakan yang terutama tidak diarahkan pada laku actor soliter melainkan diarahkan pada anggota-anggota kelompok social/
·         Tindakan dramaturgic: peserta bertindak yang ditujukan kepada masyarakat umum atau pendengarnya.
·         Tindakan komunikative: tindakan yang menunuk kepada interaksi, sekurang-kurnagnya dari dua orang yang memiliki kemampuan berbicara dan bertindak, serta dapat membentuk hubungan antarpribadi baik secara verbal maupun nonverbal.

6.       Paul Ricoeur
Sifat radikal kaum structuralism itu membawa Ricouer pada pemikirannya tentang filsafat bahasa terutama dalam kaitannya dengan hermeneutika teks. Ricouer mengakui bahwa sifat bahasawi (the lingual character) dari symbol-simbol dan symbol-simbol itu memang tercantum dalam system bahasawi.
Setiap interpretasi menurut ricouer adalah suatu usaha untuk membongkar makna-makna yang masih terselubung atau usaha-usaha untuk membuka lipatan-lipatan dari tingkatan-tingkatan makna yang terkandung dalam makna kesusastraan. Dalam hal ini nampaknya Ricouer ingin menyatakan bahwa terdapat suatu kebutuhan laten dalam bahasa untuk mengungkapkan konsep-konsep melalui kata-kata. Kebutuhan laten tersebut adalah kebutuhan akan hereneutika.
Makna bahasa dalam hermeneutica yang pada hakikatnya merupakan suatu system symbol yang terdiri atas unsure-unsur kata. Maka sebuah kata juga merupakan sebuah symbol, sebab keduanya bersama-sama hadir dalam bentuk yang lain. Salah satu sasaran yang hendak dituju oleh berbagai macam hermeneutika adalah suatu perjuangan melawan distansi cultural, yaitu penafsir harus mengambil jarak agar ia dapat membuat interpretasi yang baik.
Bahasa adalah bidang dimana semua pengamatan filosofis saling memotong satu sama lain. Bahasa adalah media bertemunya logika, fenomonologi, eksistensialisme, tafsir kitab suci dan hermeneutika bahkan menurut ricouer juga psikoanalisis. Bahasa dinyatakan dalam bentuk symbol, demikian juga pengalaman dibaca melalui pernyataan atau ungkapan symbol-simbol. Kita mengungkapkan gagasan-gagasan, emosi, kesusastraan, filsafat bahkan ilmu pengetahuan semuanya melalui bahasa.
Peranan bahasa dalam pemahaman terdapat tiga langkah yaitu:
·         Pemahaman itu berlangsung dari penghayatan dan symbol-simbol yang dalam hal ini bahasa, kegagasan tentang berpikir dari symbol-simbol.
·         Pemberian makna oleh symbol-simbol serta penggalian yang cermat atas makna.
·         Langkah yang benar-benar pilosofis yaitu berpikir dengan menggunakan symbol-simbol sebagai titik tolaknya.
Ketiga langkah-langkah tersebut sangat erat berhubungan dengan pemahaman bahasa yaitu; semantic, refleksi dan eksistensial atau ontologis. Langkah semantic adalah pemahaman pada kalimat-kalimat, kata-kata serta makna makna yang terkandung di dalamnya. Pemahaman refleksif adalah pemahaman pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu yang mendekati tingkat ontologis, adapun pemahaman eksistensif atau ontologis adalah pemahaman pada tingkat being atau hakikat keberadaan antara makna keadaan itu sendiri.
Oleh karena itu filsafat sudah saatnya untuk membenahi diri akan peranannya, yang sangat vital bagi keselamatan dan kelangsungan hidup umat manusia. Problema-problema kongkrit dan realistic umat manusia dewasa ini menantikan aluran tangan para pendekar piker, untuk memberikan suatu solusi yang realistic pula, dan bukannya suatu kontemplasi utopis.
7.       Jacques Derrida
Berdasarkan pemikiran Derrida, hal ini dipengaruhi oleh dua aliran filsafat yaitu fenomenology dan strukturalisme. Hal ini dapat terlihat dari beberapa ucapannya dan fenomena. Bagi Derrida filsafat tidak dapat dipertantangkan dengan ilmu pengetahuan, tidak masuk akal jikalau filsafat telah disingkirkan ilmu pengetahuan dan bahwa filsafat sudah tidak memiliki ruang gerak lagi karena perkembangan ilmu pengetahuan.
Menurut pandangan Derrida tentang keeksistensian ini akan nampak dengan jelas, bilamana kita mempelajari metafisika mengenai tanda. Dalam tradisi metafisika bahwa tanda menghadirkan sesuatu yang tidak hadir, tanda yang menggantikan sesuatu yang tidak hadir. Dengan demikian dalam pandangan metafisika tanda ahirnya selalu menunjuk kepada objek itu sendiri sebagai hadir, tanda hanya sekedar pengganti yang untuk sementara menunda hadirnya objek itu sendiri.
Dalam pemikiran filosofisnya Derrida sangat banyak memberi perhatian terhadap bahasa, bahkan pemikiran filosisnya tentang dekonstruksi dalam postmodernisme juga dilakukan melalui filsafat bahasa. Derrida membedakan antara tanda tangan symbol, yang merupakan problema pilosofis dalam filsafat bahasa. system tanda tersebut bersifat arbitrer dan tidak menurut kodratnya sebagaimana adanya.
Derrida berkayakinan bahwa meskipun orang belum mengucapkan kata-kata, namun tulisan  sudah siap untuk dicurahkan. Tulisan dibatasi oleh bahasa yang diucapkan oleh secara lisan, dan karena ucapan maka makna tertunda dalam tulisan. Apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh derrida adalah bahwa tulisan merupakan suatu fait accomplit, sesuatu yang sudah selesai dan terlaksana pada saat orang berbicara.
Derrida menunjukkan bahwa bahasa tidak lain adalah interpersonal. Sehingga nampak hubungan yang jelas antara fenomenalogy dengan hermeneutika, jikalau makna hanya muncul yang pada taraf yang paling dalam, bahasa yang dipergunakan untuk berbicara harus diselidiki, apakah bahasa itu keluar dari emanasi taraf pertama atau kedua. Dari pandangan Derrida tentang bahasa dengan hermeneutika untuk membuat suatu kritik. Ia mengatakan bahwa setiap kata mempunyai arti atau makna, namun tandanya berbeda-beda. Membaca sebuah teks merupakan suatu perumusan kembali pandangan dunia yang terdapat dalam proses membaca. Kritik termasuk pandangan dunia dari pengarang, sedangkan membaca termasuk dalam dalam arti tanda-tanda dalam kata-kata. Jika kritik tidak dapat menyusup masuk ke dalam arus utama dari jalan pikiran pengarang atau jikalau gagal gagal mendalami pandangan dunia dari pengarang, maka kritik itu sebenarnya tidak ada artinya sama sekali.
Makna bahasa menurut pandangan Derrida setelah mengembangkan beberapa pendapat pilosof menyimpulkan secara ontologis tulisan mendahului ucapan. Tulisan dapat menjadi jejak yang bisu namun juga dapat menjadi saksi dari yang tidak hadir dan belum dapat terkatakan. Yang dapat mendahulukan tulisan daripada ucapan hanyalah yang berasal dari alam, bukan dari waktu.
Dengan demikian makna bukanlah urusan struktur, makna tidak dapat dibangun dalam ucapan, oleh karena itu Derrida menentang pernyataan para pakar linguistic structural. Hal ini dikarenakan jikalau makna sudah terbentuk di dalam bahasa, maka orang tidak akan membutuhkan hermeneutika atau interpretasi lagi. Makna sebagaimana terbawa oleh suara, selalu memberikan penjelasan kepada pendengarnya. Tindakan mendengarkan masih merupakan cara kerja penyelidikan hermeneutika. Hal ini berarti bahwa kebenaran tidak dapat menjadi kebenaran monolitik dari being selama masih ada kebenaran-kebenaran lain tampil di dalam sejarah berbagai zaman.

References:
Jabrohim. 2012. Teori Penelitian Sastra. Pustaka Pelajar: Jogjakarta.
Kaelan. 1998. Filsafat Bahasa Masalah dan Perkembangannya. Paradigma: Jogjakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar