Senin, 09 Januari 2012

ANALYSIS OF FIRE AND ICE POETRY BY ROBERT FROST


DAFTAR ISI

BAB I PENGERTIAN
A.      Latar belakang
B.      Rumusan masalah
C.      Pendekatan teori
D.     Metode

BAB II BIOGRAFI PENGARANG

BAB III ANALISIS PUISI “FIRE AND ICE” KARYA ROBERT FROST
A.      Tema
B.      Gaya bahasa
C.      Imagery
D.     Ritme
E.      Bentuk Puisi
F.       Tone
G.     Sajak dan Pengulangan Bunyi
H.     Hubungan antara Bunyi dan Makna
I.        Amanat

BAB IV KESIMPULAN
BIBLIOGRAPHY











BAB I
PENGERTIAN
A.     Latar belakang
Puisi merupakan gejala universal di sepanjang sejarah peradaban manusia. Puisi yang merupakan pencerahan yang berbeda dari bahasa keseharian kita. Dalam hal ini tentunya membutuhkan analisis yang terstruktur untuk memahami apa isi yang dikandung dalam puisi yang kita analisi.
Terdapat banyak puisi yang membutuhkan analisis oleh si pembaca. Dalam analisis ini saya akan menganalisis suatu puisi yang berjudul “fire and ice” hasil karya dari Robert Frost. Puisi ini terdiri dari sembilan baris. Puisi pendek ini menguraikan pertanyaan akrab tentang keadaan dunia yang semakin memburuk. Kehancuran itu akan disebabkan oleh dua element sama kuat yang sampai sekarang masih dalam perdebatan di tengah penduduk bumi.
B.      Rumusan masalah
Dalam analisis ini ada dua pertanyaan yang cukup signifikan untuk  mendapatkan  makna yang terkandung dalam puisi tersebut antara lain:
1.      Apa makna yang terkandung dalam unsur puisi?
2.      Ada berapa unsur-unsur dalam menganalisa puisi?
C.      Pendekatan teori
Adapun teori yang digunakan dalam puisi ini adalah teori struktural. Dimana dalam puisi ini saya akan menjelaskan beberapa unsur secara sistematis berdasarkan kebanyakan teori yang digunakan oleh siswantoro.
D.     Metode
Metode yang digunakan penulis dalam analisis ini adalah kebanyakan merujuk kepada library research yang disebut dengan tinjauan pustaka. Metode ini berfungsi untuk mengambil beberapa informasi serta rujukan  yang sesuai dengan topik yang akan di bahas dalam puisi ini.








BAB II
BIOGRAPHY PENGARANG
Robert frost (1874-1963) lahir di San Fransisco, California, dimana dia menghabiskan masa kecilnya. Pada tahun 1885, setelah ayahnya meninggal karena tubeklosis, frost pindah ke Massachussets. Disinilah Robert lulus dari sekolah tinggi, berbagi penghargaan dengan seorang mahasiswi yang kemudian dinikahinya yang bernama Elinor White.
Frost menghadirkan Dartmouth dan harvard ketika menikah dengan Miss White pada tahun 1985. Beliau bekerja sebagai peternak dan mengajar di sekolah. Ditengah kesibukannya dia menyempatkan dirinya menulis puisi. Karena kecewa dengan kurangnya perhatian orang-orang terhadap puisinya, beliau kemudian pindah bersama istrinya ke inggris untuk mempublikasikan puisinya. Penerbit menyukai puisinya dan diterbitkan dalam buku pertamanya yang berjudul A Boy’s Will pada tahun 1913 dan koleksi buku puisinya yang kedua adalah North Boston pada tahun 1914, sedangkan buku yang terahir di terbitkan di Amerika pada tahun 1915.
Setelah membangun reputasinya, Frost kemudian kembali ke Amerika Serikat pada tahun 1915 dan membeli sebuah peternakan kecil di Franconia, N.H. untuk menambah penghasilannya dari peternakan dan puisinya. Dia mengajar di universitas. Antara tahun 1916 dan 1923, beliau menerbitkan lebih dari dua buku. Keduanya adalah New Hampshire dan Winning the 1923 Pulitzer Prize. Dia juga pernah mendapatkan undangan untuk membacakan puisinya yang berjudul “The Gift Outright” di pelantikan presiden John F. Kennedy pada bulan januari 1961. Frost meninggal di Boston dua tahun kemudian. Beliau termasuk pengarang atau sastrawan terbesar di jamannya.















BAB III
ANALISIS PUISI “FIRE AND ICE” KARYA ROBERT FROST
                Mengnalisa sebuah puisi bukanlah hal yang mudah yang kita bayangkan. Apalagi menganalisa karya orang lain yang jelas-jelas bukanlah dari pemikiran kita. Tetapi tentu kita tahu bahwa puisi itu berbeda dengan pemikiran kita. Tetapi tentu kita tahu bahwa puisi itu berbeda dengan karya sastra lain. Perbedaan itulah yang menjadikan penulis tertarik untuk mengenal lebih jauh perbedaan tersebut. Tentu hal itu sejalan dengan kaedah analisis yang terstruktur.
                Pendekatan yang kita pakai dalam analisis ini adalah struktural. Pendekatan ini cukup layak untuk membedah karya sastra yang penulis akan kaji dalam unsur puisi tersebut. Adapun unsur termasuk seluruh unsur instrinsik seperti: tema, gaya bahasa, imagery, ritme, bentuk puisi, tone, sajak dan pengulangan bunyi, hubungan antara bunyi dan makna, serta amanat. Pemisahan unsur seperti ini akan memudahkan kita untuk memahami maksud dan tujuan puisi tersebut berdasarkan interpretasi pembaca.
                Adapun puisi yang akan penulis analisa adalah puisi dari orang yang berkebangsaan california yaitu Robert Frost sebagai berikut:
Fire and Ice
some say the world will end in  fire
some say in eyes.
from what I’ve tasted of desire
I hold with those who favour fire
But if it had to perish twice,
I think I know enough of hate
To say that for destruction ice
Is also great
And would suffice.
                Sebelum melangkah lebih jauh mengenai unsur yang membangun puisi tersebut, terlebih dahulu saya menjelaskan beberapa subtansi yang terkait sehingga terbentuk suatu puisi yang dikarang oleh robert Frost. Adapu yang beberapa subtansi tersebut adalah yang pertama subjek. Di dalam puisi ini mengandung tentang kehidupan di dunia. Robert Frost mencoba untuk mempertimbangkan orang-orang di dalamnya. Menanyakan apakah mungkin kehidupan dunia akan dihancurkan oleh unsur api atau es. Mantan mahasiswa universitas harvard ini yang sekaligus menjadi narrator menyimpulkan bahwa dunia harus berakhir dalam api setelah menetapkan pengalaman pribadi dengan keinginan dan gairah, emosi yang berapi-api. Namun sebaliknya narrator ternyata juga mengakui bahwa es juga akan sama-sama penghancur.
                Kedua adalah central purpose. Tujuan puisi ini adalah untuk mengingatkan bagaimana terciptanya suatu kehancuran. Karena terciptanya kehancuran dapat disebabkan oleh emosi yang tinggi dan keras kepala. Oleh karena itu, Robert Frost dalam puisinya menyarankan agar segala sesuatu harus ada pertimbangan dan tindak lanjut supaya tidak terjadi kehancuran yang tidak diinginkan. Tentunya untuk mengetahui lebih dalam tentang subtansi tersebut di atas tidak dapat dikenali tanpa ada unsur pembangun. Berikut ini akan dijelaskan unsur-unsur tersebut termasuk unsur instrinsik.
A.      Tema
Puisi ”Fire and Ice” karya Robert Frost mengungkapkan tema tentang “the danger of extrimisme” yang artinya bahaya extrimisme. Hal ini dapat kita rasakan dan beberapa bukti. Pertama, diksi yang digunakan tergolong ekstrim. Kata “Fire and Ice” yang artinya “Api dan Es” digunakan sebagai judul untuk membentuk gambar yang benar-benar nyata dalam puisi tersebut. Kedua, puisi ini mengandung makna yang cukup ekstrim seperti yang diungkapkan bahwa api dan es tidak eklusif yang artinya dunia ini akan berakhir dengan api maupun es yng keduanya sama-sama membawa dalam kehancuran.
Selain dari pada itu, beberapa kata penunjang yang mendukung dari tema puisi ini antara lain “end in fire”, “tasted of desire”, “favour fire”,  and “ destruction ice”. Dari cara penyair ini menyajikan diksi kata tersebut sehingga puisi ini dapat digolongkan dalam puisi aliran extremisme, yaitu aliran yang menekankan segenap kematian, kehancuran, dan kecelakaan.
B.      Gaya bahasa
Perangkat sastra paling nyata digunakan dalam puisi Robert Frost yang berjudul Fire and Ice adalah metaphore. Kata fire dan ice dibandingkan dengan cara Frost yang percaya bahwa dunia akan berakhir. Api dibandingkan dengan keinginan Frost yang terletak pada baris ke-3 dan baris ke-4:
                From what I’ve tasted of desire
                I hold with those who favour fire
Disinilah Frost seakan mengacu pada kehidupannya sendiri dan keinginan hasratnya. Dengan membandingkan api untuk keinginan kita dalam menguasai sagala hal, hasrat atau nafsu itu adalah dosa. Sedangkan es dibandingkan dengan kebencian dapat dilihat di baris ke-6 sampai baris ke-8:
                I think I know enough of hate
                To say that of destruction ice
                Is also great
Disini juga dapat di katakan bahwa Frost dalam bait tersebut di atas mengacu pada pengalamannya sendiri dengan kebencian. Dengan cara itu beliau membandingkan api dengan  hawa nafsu sedangkan es di bandingkan dengan kebencian yang ditekankan pada kehancuran. Hal ini sangat menarik perhatian si pembaca dan membantu menyampaikan apa maksud Frost dalam puisinya tersebut. Penyair yang menghabiskan masa kecilnya di california ini juga membandingkan keadaan alam dengan tindakan manusia. Kekuatan alam seperti api dan es terhadap hukum alam adalah sebagai perusak. Begitupun dengan kehidupan manusia yang sebenarnya juga memiliki hawa nafsu, cinta, dan kebencian.
                Selain dari pada itu pada gaya bahasa metaphor juga digunakan gaya bahasa simbolisme. Dalam hal ini api dan es disimbolkan sebagai nafsu dan kebencian. Api merupakan simbol  dari hawa nafsu angkara yang mampu membakar segala hal termasuk bumi ini. Namun api tersebut hanya digunakan sebagai simbol hawa nafsu agar supaya membantu pembaca mengetahui makna yang terkandung dalam puisi tersebut. Es merupakan simbol kebencian. Orang yang penuh dengan kebencian maka akan bersifat kaku dan keras. Es memiliki sifat yang beku, keras, dan tidak bergerak. Tapi kaitannya Frost tidak mengatakan bahwa dunia akan benar-benar membeku, tetapi sifat es ini dikembalikan kepada manusia itu sendiri yang cenderung keras kepala dan pembangkang.
                Melalui perangkat gaya bahasa yang termasuk unsur instrinsik dalam puisi ini seperti gaya bahasa metaphor dan simbolisme adalah dapat membantu pembaca agar mengerti makna yang dikandung dari puisi tersebut. Hanya dalam beberapa baris puisi Frost ini mampu memperingatkan para pembacanya tentang kehancuran, nafsu angkara, dan kebencian.
C.      Imagery
Deratan kata yang digunakan Robert Frost mudah di pahami, karena diksi dalam puisi ini cenderung menggunakan kata universal. Namun imagery yang dihasilkan dapat membawakan dampak ketegangan. Hal ini terlihat dari baris pertama hingga empat.
                Some say the world will end in fire
                Some say in ice.
                From what I’ve tasted of desire
                I hold with those who favour fire
Nampak jelas dalam imajinasi kita terjadi perdebatan akhir dari kejadian bumi yang diselimuti dengan dua unsur yang masing-masing memberikan dampak kehancuran. Unsur tersebut adalah api dan es. Nampak jelas dalam diri pengarang sebagai narrator merasakan bagaimana karakter yang menunjukkan nafsu angkara dan terus mendukung perapian. Ragam imagery yang digunakan dalam sajak pertama ini condong tactile imagery. Tactile imagery berhubungan dengan rasa panas atau dingin sebagaimana layaknya kita merasakan tiupan angin kencang di musim gugur atau bekunya suhu di musim dingin.  ( siswantoro: 2002: 55 ). Benar adanya api dan es dalam puisi ini begitu kontroversial karena mempunyai interpretasi yang berbeda. Kemudian bantahan seakan melemahkan bait pertama tersebut di atas yang menyebutkan sebagai berikut:
                But if it had to perish twice,
                I think I know   enough of hate
                To say that for destruction ice
                Is also great
                And would suffice.
Dalam hal ini sedikit demi sedikit ketegangan menyelimuti ketika harus terdapat kebinasaan yang datang dua kali. Dia tahu betul kebencian itu akan mendatangkan kehancuran dari pembekuan es. Dan hal itu baik dan cukup baginya. Bait ini juga cenderung menggunakan ragam tactile imagery yang juga menerangkan tentang es yang bersifat beku dan dingin.
D.      Ritme
Tujuan utama puisi ini adalah untuk menyampaikan rasa prihatin penyair tatkala keadaan bumi yang semakin panas dan cuaca yang tidak menentu. Akibatnya munculnya bencana alam dimana-mana akan semakin nampak kehancuran baik yang tersembunyi maupun secara kasat mata. Frost menulis puisinya (Fire and Ice) dalam bentuk iambic tetrameter (pada baris 1,3,4,5,6 and 7) dan iambic diameter (pada baris 2, 8 dan 9). Dalam tetrameter iambic , garis memiliki emapt pasang suku kata, setiap pasangan dengan suku kata tanpa tekanan diikuti oleh stressed syllable. Dalam diameter iambic setiap baris terdiri dari dua pasang syllable setiap pasangan terdiri dari unstressed syllable dan di ikuti oleh stressed syllable. Ritme puisi ini memungkiri pesan mendasari kehancuran. Berikut gambaran puisi ini dengan ritme maupun meternya.
            1          2                      3          4
Some SAY  ӏ  the WORLD ӏ  will END ӏ  in FIRE,

1          2
Some SAY  ӏ  in Ice.

1          2                      3          4
From WHAT  ӏ  I've TAS  ӏ  ted OF  ӏ  de SIRE

     1                 2                      3          4
I HOLD ӏ   with THOSE  ӏ  who FA  ӏ  vour FIRE.

      1          2                       3                4
But IF  ӏ  it HAD  ӏ  to PE  ӏ  rish TWICE,

        1              2             3                   4
I THINK  ӏ   I KNOW  ӏ  e NOUGH  ӏ  of HATE

         1             2          3                      4
To SAY  ӏ  that FOR  ӏ  de STRUC  ӏ  tion ICE

     1                  2
Is AL  ӏ  so GREAT

1                      2
And WOULD  ӏ   suf FICE.

E.       Bentuk puisi
Puisi ini dibentuk dengan free verse. Siswantoro menjelaskan free verse merupakan bentuk bebas yang tidak mengacu kepada bentuk-bentuk konvensional dengan aturan yang sudah paten. Sebagai bentuk bebas, ia secara luas di pakai dalam belantara sastra inggris baik di Britania atau di Amerika. Penyair tidak lagi terbatasi oleh bingkai kerangka puisi dalam pengungkapan kalbunya. Ia lebih bebas menari-nari dengan daya kreasi atau tutur katanya, menuruti degup semangat individualnya. Karena bebasnya disebut free verse atau disebut pula sebagai verse libre (2002: 110). Puisi ini lebih bebas tanpa ada ikatan stanza atau bait, karena lebih menuangkan makna yang terkandung di dalamnya serta bebas mengespresikan ketegangan yang di kandungnya.
F.       Tone
Unsur puisi yang tidak tertulis secara eksplisit, namun yng kehadirannya tidak bisa di abaikan adalah tone. Secara defenisi ia adalah sifat penulis, atau tokoh penutur terhadap subjek yang diangkat dalam karyanya, terhadap pembaca atau dirinya sendiri (2002: 115). Puisi ini ada kaitannya dengan pengaruh Dante dalam cerita the divine comedy. Dante merupakan tempat mereka yang meyerah kepada keinginan tak terkendali di tingkat neraka. Dia menempatkanya untuk melakukan apa yang dianggapnya sebagai pengkhianatan, dosa yang paling serius, di danau es di tingkat terendah dari neraka. Yudas dan setan adalah salah satu penghianat dibatasi dari daerah tertentu. Sehingga dengan demikian frost mengganti kebencian atas penghianatannya sebagai pelanggaran yang mengutuk pelaku dengan hukuman memenjarakan di danau es. Pada saat yang sama, dia mengatakan kebencian dan nafsu sama-sama terkutuk. Eksistensi puisi tersebut dapat ditemukan dalam beberapa unsur yang telah dijelaskan sebelumnya seperti rhytme, diksi, bentuk puisi, dan elemen lainnya.
G.     Sajak dan pengulangan bunyi
1.       Sajak
Puisi ini terdiri dari 3 unit sajak. Unit pertama terdiri dari 1, 3, dan 4. Yang kedua terdiri dari baris 2, 5, 7, dan 9. Yang ketiga terdiri dari baris 6 dan 8. Puisi ini bervariasi antara dua meter terpanjang (selain dari 8 syllable juga 4 syllable) dan menggunakan tiga set sajak terjalin antara lain “-ire”, “-ice”, dan “ate”. Ahir dari semua sajak ini dinamakan maskulin. Sajak puisi ini terdiri dari skema “a b a a b c b c b” di bagi menjadi beberapa bagian yang dihubungkan keduanya. Lima baris ini dinamakan pivot. Struktur sajak seperti ini mungkin sulit untuk dicerna oleh pembaca yang baru mengenal sastra, karena kata yang digunakan tidak dapat langsung di tebak. Dengan demikian membutuhkan interpretasi yang kuat yang disebabkan oleh oleh kata simbol yang digunakan oleh pengarang puisi tersebut.
2.       Konsonasi
Dari sajak yang disebutkan sebelumnya merupakan bentuk pengulangan bunyi yang sama biasanya berada di akhir baris dari keseluruhan larik-larik puisi untuk memperindah kedengarannya. Selain dari pada itu puisi ini dibangun oleh elemen pengulangan bunyi yang disebut konsonasi. Konsonasi adalah pengulangan bunyi konsonan yang terdapat di akhir sukukata. Dalam puisi ini terdapat bunyi konsonan yang berulang kali disebutkan seperti bunyi “s” pada “ice, twice, suffice” dan bunyi “t” pada “hate dan great”. Sehingga menciptakan bunyi yang kedengarannya seperti mengalir tak terputus.
3.       Aliterasi
Aliterasi merupakan bentuk pengulangan bunyi konsonan di awal kata. Dalam konteks ini penyair menggunakan aliterasi pada baris pertama dan kedua puisi yang menyebutkan bunyi s dan bunyi w sebagai berikut:
                Some say the world will end in fire,
                Some say in ice.
Keteraturan puisi tersebut jelas menimbulkan keharmonisan. Karena potongan—potongan kata yang dilakukan dengan teratur yang semestinya baris kedua dari puisi tersebut di ulangi dengan some say the world will end in ice. Tetapi hal ini tentu akan menimbulkan kontroversi karena termasuk pemborosan kalimat. Dan tentunya menimbulkan konsentrasi yang menarik fokus si pembaca.
H.      Hubungan antara bunyi dan makna
Mengkaji tentang hubungan antara bunyi dan makna, secara otomatis analisa dilakukan bedasarkan bait perbait. Pada dua baris pertama dari puisi ini, frost menciptakan dikotomi yang jelas antara api dan es dan dua kelompok orang yang percaya pada setiap elemen dengan menggunakan istilah “some” bukan “I” ataupun “individu” frost menegaskan bahwa perbedaan antara  dua elemen adalah kebenaran universal, bukan hanya sebuah ide yang dipromosikan oleh setiap individu. Selin daripada kontradiksi juga tak terhindarkan keduanya antara api dan es, baris pertama menguraikan bahwa dunia akan berahir sebagai akibat langsung dari satu elemen. Tidak jelas elemen yang akan menghancurkan dunia, tetapi penting untuk dicatat bahwa api dan es adalah hanyalah pilihan. Puisi ini tidak memungkinkan untuk setiap kemungkinan lain dalam hal nasib dunia, berdasarkan hal itu tidak ada pendapat yang diperbolehkan dalam perdebatan hitam-putih antara api dan es. Menariknya, dua kemungkinan untuk kehancuran dunia sesuai langsung ke suatu debat ilmiah yang umum selama waktu Frost dalam menulis puisi tersebut. Beberapa ilmuan percaya bahwa dunia akan diinsinerasi dari inti api, sementara yang lainnya yakin bahwa zaman es datang akan menghancurkan semua makhluk hidup di permukaan bumi. Bukannya mempertahankan perpektif ketat ilmiah tentang perdebatan ini, frost memperkenalkan sisi lebih emosional, yang menghubungkan hasrat dengan api dan kebencian dengan es. Dalam pandangan metaphora dari pandangan dua elemen, dunia dapat diakui sebagai metaphor untuk keterkaitannya. Terlalu banyak api dan gairah yang cepat yang menghubungkannya keduanya, sementara ketidakpedulian kedinginan dan kebencian adalah sama-sama sebagai penghancur.


I.        Amanat
Sesuai dengan tema yang diangkatnya, puisi ini berisi amanat kepada pembaca agar menghayati hidup dan selalu mampu mengintropeksi diri. Agar bisa melakukan amanat tersebut, pembaca bisa merenungkan meskipun didalamnya ketegangan yang disebabkan oleh aliran ekstrim. Penyair juga mengingatkan pada subtansinya hidup kita hanyalah sebuah pengembaraan ke suatu tempat dan pastinya akan kembali jangan sampai kehancuran itu datang menghampiri kita. Pada bait terahir menyebutkan:
I think I know   enough of hate
                To say that for destruction ice
                Is also great
                And would suffice.
Segala sesuatu akan berakhir dengan dua elemen tadi yang pada dasarnnya memiliki kesamaan untuk menghancurkan. Kita perlu menyadari akan hal itu.





BAB IV
KESIMPULAN
Puisi merupakan gejala universal di sepanjang sejarah peradaban manusia. Puisi yang merupakan pencerahan yang berbeda dari bahasa keseharian kita. Dalam analisis ini saya akan menganalisis suatu puisi yang berjudul “fire and ice” hasil karya dari Robert Frost. Puisi ini terdiri dari sembilan baris. Puisi pendek ini menguraikan pertanyaan akrab tentang keadaan dunia yang semakin memburuk. Kehancuran itu akan disebabkan oleh dua element sama kuat yang sampai sekarang masih dalam perdebatan di tengah penduduk bumi. Adapun unsur termasuk seluruh unsur instrinsik seperti: tema, gaya bahasa, imagery, ritme, bentuk puisi, tone, sajak dan pengulangan bunyi, hubungan antara bunyi dan makna, serta amanat. Puisi ini berisi amanat kepada pembaca agar menghayati hidup dan selalu mampu mengintropeksi diri. Agar bisa melakukan amanat tersebut, pembaca bisa merenungkan meskipun didalamnya ketegangan yang disebabkan oleh aliran ekstrim.





BIBLIOGRAFI
Siswantoro. 2002. Apresiasi Puisi-Puisi Sastra Inggris. Universitas Muhammadiyah: jogjakarta.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar