Sabtu, 21 Mei 2011

ISLAM DI PERANCIS

ISLAM DI PERANCIS
Sejarah masuknya islam di Perancis
Washington, DC – Mereka yang percaya dengan “benturan peradaban” juga mengklaim bahwa Islam tidak dapat berkembang di Barat tanpa menciptakan ancaman di sana. Namun, pembicaraan semacam itu tidak didengar di Perancis, di mana Islam telah ada sejak Abad Pertengahan, meskipun awalnya dalam jumlah yang amat kecil.
Penaklukan Aljajair pada 1830 dan Protektorat Perancis atas Moroko dan Tunisia memberikan warna Afrika Utara kepada Islam di Perancis. Dan untuk memberikan penghargaan kepada pengorbanan puluhan ribu tentara Muslim selama PD I, Republik Perancis memutuskan pada 1922 untuk membangun Masjid Agung di jantung kota Paris.
Sekularisme berakar jauh dalam sejarah Perancis dan warisan ini juga mempengaruhi situasi Muslim saat ini. Sementara Revolusi 1789 menjamin kewarganegaraan penuh bagi Yahudi Perancis, Revolusi tersebut menyangkal hak untuk berorganisasi sebagai sebuah komunitas dan, sampai hari ini, Republik tersebut sangat waspada dengan sesuatu yang menyerupai multikulturalisme.
Meskipun pemisahan antara gereja dan negara dilakukan pada 1905, Islam bukan pihak yang ikut dalam perjanjian antara Republik dan Gereja Khatolik ini. Ini sebabnya, di Perancis, masjid seringkali merupakan perwujudan dari asosiasi budaya (berlawanan dengan asosiasi keagamaan).
Hukum Perancis melarang pengumpulan statistik berdasarkan asal religius atau etnis, tapi perkiraan saat ini menyatakan bahwa populasi Muslim di negara itu adalah sekitar empat hingga lima juta jiwa, atau enam hingga delapan persen dari populasi total. Baik dalam istilah absolut maupun relatif, Perancis menjadi tuan rumah populasi Muslim terbesar di Eropa Barat, dan negara ini juga menjamin kewarganegaraan secara lebih dermawan ketimbang negara-negara tetangganya. Karenanya Muslim di Perancis adalah orang Perancis lebih dulu, dan hubungan dengan negara asal mereka secara alami menjadi lebih lemah pada generasi kedua, dan lebih lemah lagi pada generasi ketiga.
Angka pernikahan dengan non-Muslim berkisar 20-50 persen, tergantung kepada kelompok yang bersangkutan. Fakta ini menampar wajah konsep "komunitas".
Dalam pandangan keragamannya yang luar biasa, Islam di Perancis tidak dapat direduksi ke suatu stereotip. Untuk satu hal, ketika dipoling, proporsi besar Muslim mendeskripsikan diri mereka sebagai tidak beragama. Untuk hal lain, mereka yang mempraktikkan mengatakan bahwa mereka lmemilih ibadah individual daripada ibadah kolektif di masjid, bahkan ibadah mingguan sekalipun.


Namun, berpuasa selama Ramadan mengalami kemajuan dan kerap dirayakan dengan makan malam yang terbuka bagi semua. Sejumlah ordo Sufi aktif di Perancis dan 40.000 orang pergi haji ke Mekah setiap tahunnya. Akhirnya, perpindahan agama ke Islam amat menonjol, seperti yang disaksikan oleh pemain sepak bola Franck Ribéry atau rapper Abdel Malik.
Sementara Republik sekuler tidak memiliki bias religius (atau non-religius), negara itu juga harus terlibat dengan para pemimpin Muslim pada masalah-masalah tertentu, seperti hari raya Qurban, kalender religius, pemakaman religius, dan ustad di ketentaraan, di antara hal lainnya.
Pada 2003, proses konsultasi yang seksama akhirnya menghasilkan pemilihan French Council for the Muslim Faith, yang sah dan mandatnya terbatas pada masalah-masalah keagamaan. Malah, banyak suara muncul untuk menyangkal dewan ini atas klim apapun terhadap jenis-jenis perwakilan lain.
Presiden pertama dewan ini adalah rektor Masjid Agung Paris, Dalil Boubakeur. Dia terpilih kembali pada 2005, tapi posisi itu diserahkan kepada Mohammed Moussaoui pada 2008, seorang profesor universitas, dengan demikian memperlihatkan suatu evolusi dengan makna dan simbol. Namun, kebanyakan pekerjaan dilakukan di dewan regional untuk Agama Islam dalam kerjasama dengan pemerintah setempat.
Pemberontakan 2005 di pedalaman dengan salah dideskripsikan sebagai “Muslim”, terutama oleh media Anglo-Saxon, meskipun Islam tidak berperan apapun dalam gangguan sosial yang serius itu – baik dalam makna yang positif (tak satupun dari permohonan untuk ketenangan yang dikeluarkan oleh masjid memiliki pengaruh), maupun dalam makna negatif (tidak ada agitator Islam yang dipolitisasi seperti itu yang teridentifikasi).
Beberapa bulan setelah gangguan itu, poling Pew Research Center yang dilakukan di empat negara Eropa mengungkapkan bahwa tiga dari empat Muslim di Perancis tidak melihat adanya kontradiksi antara ketaatan religius dan integrasi sosial (versus satu banding tiga di UK).
Di Perancis, responden mendefinisikan identitas mereka sejajar dalam hal kewarganegaraan Perancis dan keyakinan Muslim, kontras dengan Jerman atau Spanyol, di mana hanya sedikit minoritas yang menyebut kewarganegaraan sebagai bagian dari identitas mereka. Inklusi keragaman Muslim dalam struktur sekuler Republik Perancis sebagian besar merupakan penyebab hasil ini.


Jean-Pierre Filiu adalah profesor di Sciences Po (Institute of Political Studies), Paris, dan dosen tamu Georgetown University di Washington, DC. Buku terakhirnya, Apocalypse in Islam (Fayard, 2008), memenangkan penghargaan utama di Konvensi Sejarah Perancis. Artikel ini ditulis untuk Kantor Berita Common Ground (CGNews).

Pelajar Muslim
Pada tahun 1970-an, imigran Muslim kembali mendatangi negara pencetus trias politica itu. Kali ini, para pelajar Muslim yang datang ke Perancis untuk menuntut ilmu. Kedatangan para pelajar ini menjadi faktor penting yang mengambil peran besar dan penting dalam mendorong penyebaran Islam dan berkehidupan Islam di jantung negeri Napoleon Bonaparte ini.
Tahun 1985, diselenggarakan konferensi besar Islam yang dibiayai Rabithah Alam Islami (Organisasi Islam Dunia). Turut serta dalam konferensi itu 141 negara Islam dengan keputusan mendirikan Federasi Muslim Perancis.
Peristiwa besar ini tidak luput dari perhatian dunia, mengingat kehadiran umat Islam di salah satu negara Eropa selalu menjadi dilema bagi para penguasa setempat, terutama yang menyangkut ketenagakerjaan (buruh) dan masalah sosial.
Hasil konferensi dan terbentuknya federasi Muslim itu berhasil mempersatukan sebanyak 540 buah organisasi Islam di seluruh Perancis dan melindungi 1600 buah masjid, lembaga-lembaga pendidikan Islam, dan gedung-gedung milik umat Islam.
Dengan kondisi ini, barisan (saf) umat Islam pun semakin kokoh. Yang lebih menggembirakan lagi, kebanyakan anggota federasi yang menjalankan roda organisasi justru berasal dari kaum muda-mudi Muslim berkebangsaan Perancis sendiri.
Federasi ini bertujuan berperan aktif dalam menyukseskan kegiatan keislaman di Perancis dan memberikan pengetahuan dan pendidikan tentang Islam kepada warga Perancis.
Lembaga ini berperan besar dalam menjembatani umat Islam Perancis dengan pemerintah setempat, terutama dalam menyuarakan kepentingan umat Islam.
”Dengan kesepakatan ini, umat Islam punya hak yang sama dengan umat Katholik, Yahudi, dan Protestan,” kata seorang menteri di pemerintahan, Nicolas Sarkozy.
Organisasi itu merupakan gabungan dari tiga organisasi besar Islam di Perancis, yakni Masjid Paris, Federasi Nasional Muslim, dan Persatuan Organisasi Islam Perancis.


Pelarangan Jilbab
Perancis, yang juga terkenal sebagai negara mode ini, pernah melarang Muslimah menggunakan jilbab sekitar tahun 1989. Pelajar Muslimah dikeluarkan dari kelas karena memakai jilbab, pekerja Muslimah dipecat dari kantornya karena mengenakan jilbab. Namun, mereka tidak menyerah begitu saja. Umat Islam Perancis menggoyang Paris dengan aksi-aksi demo menuntut kebebasan. Dan, umat Islam di berbagai negara pun turut melakukan protes atas kebijakan tersebut.
Akhirnya, pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan pada 2 November 1992 yang memperbolehkan para siswi Muslimah untuk mengenakan jilbab di sekolah-sekolah negeri.
Sekarang, tampilnya wanita-wanita berjilbab di Perancis menjadi satu fenomena keislaman yang sangat kuat di negeri tersebut. Mereka bukan hanya hadir di masjid-masjid atau pusat-pusat keagamaan Islam lainnya, melainkan juga di sekolah-sekolah negeri, perguruan tinggi negeri, dan tempat-tempat umum lainnya.
Banyak hal yang memengaruhi perkembangan Islam di Perancis. Salah satunya adalah Perang Teluk 1991 yang menyebabkan munculnya krisis identitas di kalangan anak muda Muslim di Perancis. Kondisi ini mendorong mereka lebih rajin datang ke masjid. Gerakan Intifada di Palestina juga mendorong makin banyaknya Muslim Perancis yang beribadah ke masjid.
Umat Islam di Perancis memiliki peranan yang sangat penting. Mereka memainkan peranan dalam semua sektor. Mulai dari pendidikan, lembaga keuangan, pemerintahan, olahraga, sosial, dan lainnya.
Bahkan, pada Perang Dunia I dan II, umat Islam di Eropa tercatat turut menentang pendudukan Nazi. Keikutsertaan umat Islam dalam menentang pendudukan Nazi menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah perjuangan kemerdekaan Perancis.









Masjid dan Sekolah Islam Meningkat
Seiring dengan berkembangannya agama Islam di negara Perancis, jumlah sarana ibadah dan kegiatan keislaman pun semakin meningkat.
Menurut survei yang dilakukan kelompok Muslim Perancis, sampai tahun 2003, jumlah masjid di seantero Perancis mencapai 1.554 buah. Mulai dari yang berupa ruangan sewaan di bawah tanah sampai gedung yang dimiliki oleh warga Muslim dan dibangun di tempat-tempat umum.
Perkembangan Islam dan masjid di Perancis juga ditulis oleh seorang wartawan Perancis yang juga pakar tentang Islam, Xavier Ternisien. Dalam buku terbarunya, Ternisien menulis, di kawasan Saint Denis, sebelah utara Perancis, terdapat kurang lebih 97 masjid, sementara di selatan Perancis sebanyak 73 masjid.
Ternisien menambahkan, masjid-masjid yang banyak berdiri di Perancis dengan kubah-kubahnya yang khas menunjukkan bahwa Islam kini makin mengemuka di negara itu. Islam di Perancis bukan lagi agama yang di masa lalu bergerak secara diam-diam.
”Masjid-masjid yang ada di Perancis kini bahkan dibangun atas tanah milik warga Muslim sendiri, bukan lagi di tempat sewaan seperti pada masa lalu,” ujarnya.
Tampaknya, pada tahun-tahun mendatang, jumlah masjid akan makin bertambah di Perancis. Sejumlah masjid yang ada sekarang terkadang tidak bisa menampung semua jamaah. Masjid di kawasan Belle Ville dan Barbes, misalnya, sebagian jamaah terpaksa harus shalat sampai ke pinggiran jalan.
Awalnya, masjid-masjid yang ada di Perancis didirikan oleh orang-orang Muslim asal Pakistan yang bekerja di pabrik-pabrik di Paris, Perancis. Mereka mengubah ruangan kecil tempat makan siang atau berganti pakaian menjadi ruangan untuk shalat. Terkadang, mereka menggunakan ruangan di asramanya sebagai sarana ibadah. Sehingga, hal itu terus berkembang dan menyebar.
Perkembangan yang terus meningkat itu membuat sebagian masyarakat Perancis khawatir. Masjid-masjid yang ada sering menjadi sasaran serangan yang berbau rasisme. Masa suram masjid di Perancis terjadi pada tahun 2001. Sejumlah masjid menjadi sasaran serangan dengan menggunakan bom molotov. Bahkan, ada masjid yang dibakar. Bentuk serangan lainnya adalah menggambari dinding-dinding masjid dan dinding rumah imam-imam masjid dengan lambang swastika. Namun, sejauh ini, belum ada organisasi hak asasi manusia atau asosiasi Muslim yang mempersoalkan serangan-serangan itu.
Sekolah Tak hanya masjid yang tumbuh, lembaga pendidikan Islam di negeri mode ini pun turut berkembang. Sejumlah sekolah Islam berdiri di Perancis. Sampai kini, sedikitnya ada empat sekolah Muslim swasta.
”Pemerintah belum lama ini memberi izin untuk memulai operasi,” ujar Mahmoud Awwad, sponsor dan direktur sekolah Education et Savior.
Awalnya, sebuah sekolah didirikan di Vitrerie, pinggiran selatan Paris. Kurikulumnya disesuaikan dengan kurikulum pendidikan nasional Perancis, namun ada tambahan pelajaran khusus muatan lokal tentang keislaman, seperti bahasa Arab dan agama Islam.
Education et Savior adalah sekolah kedua yang dibuka di Paris setelah sekolah Reussite di pinggiran Aubervilliers, utara Paris, dan yang keempat di Perancis. Dua sekolah swasta Islam lainnya adalah Ibn Rushd di Kota Lille, utara Perancis, dan Al-Kindi di Kota Lyon.
Selama ini, umat Islam di Perancis ingin memiliki sekolah swasta Islam setelah Paris melarang jilbab dan simbol keagamaan di sekolah negeri empat tahun lalu. Siswi Muslim yang memakai jilbab akan dikeluarkan dari sekolah dan kondisi ini membuat masa depan mereka suram.
Awwad mengaku, pihaknya tidak sulit mendapatkan izin pendirian sekolah Islam. ”Tidak seperti sekolah Al-Kindi, kami tidak menemui rintangan,” ujar Awwad. Pembukaan Al-Kindi di Lyon mendapat hambatan saat dibuka pada 2006.
Academy of Lyon, badan pendidikan negara yang tertinggi di kota itu, menolak izin operasional sekolah itu dan menutup sekolah dengan alasan pihak sekolah tidak memenuhi standar kebersihan dan keselamatan. Namun, Pengadilan Administratif di Lyon membatalkan penutupan itu pada Februari tahun lalu. Ini berarti sekolah Al-Kindi bisa membuka ajaran baru pada Maret 2007.
Menurut para pemimpin Muslim Perancis, insiden di Al-Kindi justru mendorong masyarakat Muslim untuk membuka sekolah serupa. ”Kontroversi Al-Kindi mendobrak ketakutan di minoritas Muslim untuk memiliki sekolah lebih banyak,” ujar Lhaj Thami Breze, ketua Organisasi Persatuan Islam di Perancis, UOIF.
Source:
yunalisra.blogspot.com
Kantor Berita Common Ground (CGNews), 5 Desember 2008, www.commongroundnews.org

1 komentar: