HAKIKAT BAHASA
DALAM HERMENEUTIKA
Perkembangan
pemikiran filsafat menunjukkan adanya kesinambungan yang meletakkan bahasa
sebagai pusat perhatian para pilosof. Hal yang paling mendasari ilmu filsafat
adalah bahasa itu sendiri sebagai persenjataan dalam berpikir untuk dikaji
secara cermat. Disamping itu, bahasa juga sebagai penjelas dalam mengungkapkan
berbagai fakta-fakta keberadaan suatu peristiwa. Sementara di sisi lain
menunjukkan bahwa bahasa tidaklah mungkin dibatasi melalui formulasi logika
yang ketat sebagaimana dilakukan oleh atomisme logis dan positivism logis.
Problema-problema
yang demikian muncul karena bahasa tersebut hanya menjelaskan secara
kontekstual. Maka dengan penuh kesadaran bermunculanlah berbagai macam
pemikiran para pilfsuf yang berupaya memahami hakikat kehidupan manusia melalui
interpretasi bahasa. Sehingga seorang yang berkebangsaan jerman dan perancis
mengembangkan pemikiran filasafat yang mendasar pada hermeneutika. Hermeneutika
memberikan pandangan hakikat bahasa bagaimana cara kita memahami kenyataan dan
cara kenyataan tampil pada kita.
Berkaitan dengan
penelusuran realitas hermeneutika dalam pemaknaan kehidupan, maka sejumlah
pakar yang bergelut di bidang pemikiran filsafat hermeneutika mengemukakan
berbagai teori dan konsep masing-masing yang mereka yakini.
1. Frienderich Schleiermacher
Menurut
schleiermarcher, pemahaman adalah suatu rekonstruksi yang bertolak dari ekspresi
yang telah diungkapkan dan mengarah
kembali ke suasana kejiwaan dimana ekspresi tersebut diungkapkan. Dalam
masalah ini terdapat dua masalah pokok yang saling berhubungan dan
berinteraksi, yaitu momen tata bahasa dan momen kejiwaan. Sedangkan prinsip
yang menjadi tumpuan rekonstruksi bidang tata bahasa dan bidang kejiwaan
diistilahkan dengan lingkaran hermeneutika. Bilamana seseorang memahami
sesuatu, hal itu terjadi dengan analogi yaitu dengan jalan membandingkan
sesuatu dengan sesuatu yang lain yang sudah diketahuinya. Bahasa yang merupakan
unsure yang fundamental dalam hermeneutika yaitu merupakan suatu system,
artinya suatu kata ditentukan artinya lewat makna fungsionalnya dalam kalimat
secara keseluruhan, dan makna kalimat ditentukan lewat arti satu persatu dari
kata yang membentuk kalimat tersebut.
2. Wilhem Dilthey
Pemikiran
filsafat dilthey dikenal dengan filsafat hidup karena ia berupaya untuk
menganalisis proses pemahaman yang membuat kita dapat mengetahui kehidupan
pikiran (kejiwaan) kita sendiri dan kehidupan jiwa orang lain. Kenyataan hidup
adalah berlawanan dengan segala sesuatu yang hanya bersifat eksak, demikian
juga kenyataan hidup berlawanan dengan segala sesuatu yang dirumuskan dalam
pengertian dan arti secara essensial. Menurut dilthey menerangkan hidup
manusia, eksistemsi manusia tidak mungkin dapat dijelaskan dengan menggunakan
konsepsi-konsepsi ilmu pengetahuan.
Tugas
hermeneutika menurut Dilthey adalah untuk melengkapi teori pembuktian validitas
universal interpretasi agar mutu sejarah tidak tercemari oleh pandangan yang
tidak dapat dipertangggungjawabkan. Ada beberapa prinsip yang dikemukakan oleh
dilthey sebagai berikut; perlu adanya latar belakang pendidikan pengetahuan
yang bersifat grammatical kebahasaan serta bersifat sejarah agar mampu
mempertimbangkan sejumlah karya-karya dalam penggunaan bahasa, membaca
keseluruhan secara berturut-turut dan membangun menjadi suatu gambaran yang
bersifat saling bertautan(koherence), suatu karya dapat terungkapkan secara
lebih penuh lewat karya-karya lain si pengarang.
Berdasarkan
prinsip-prinsip hermeneutika sebagaimana diukemukakan Dilthey tersebut nampak
pada kita bahwa bahasa memiliki peranan yang sentral, karena proses dan dimensi
hidup manusia tercover oleh bahasa.
3. Martin Heidigger
Filsafat
Heeidigger termasuk pemikiran filsafat yang sangat cermat dan memiliki nuansa
yang sangat mendalam. Pemikiran Heidigger meliputi dua periode, sehingga
komentator Richardson membedakan Heidigger I dan Hidigger II. Periode pertama
meliputi ada dan waktu menurut banyak ahli karya tersebut belums sepenuhnya
tuntas. Dalam pembahasannya periode pertama ia membahas tentang “ada” dan
satu-satunya makhluk yang mempertanyakan tentang ada dalam manusia. Pemikiran
kedua hedigger disebutkan sebagai suatu pengertian kahre secara harfiah artinya
pambalikan. Namun demikian tidak seperti Wittgenstein, dalam pemikirannya
pertama dan kedua saling bertolak belakan, pada pemikiran heidigger pemikiran
periode pertama dan kedua senatiasa terdapat koherensi atau berkesinambungan.
Pemikiran
filsafat Heidigger pada hakikatnya adalah merupakan suatu filsafat bahasa yang
berbeda dengan filsafat analitik. Pada umumnya bahasa bahasa diperlukan sebagai
alat komunikasi manusia, untuk menyampaikan sesuatu dalam hidup manusia. Bahasa
hanya berfungsi sebagai alat manusia untuk mendapatkan suatu informasi.
Sedangkan bahasa yang sesungguhnya yang dikemukakan oleh heidigger adalah tidak
hanya merupakan sarana belaka, melainkan hakikat bahasa adalah bahasa hakikat
artinya berpikir adalah suatu jawaban, tanggapan atau respond dan bukan
manipulasi idea yang hakikatnya telah terkandung dalam proses penuturan bahasa
dan bukan hanya sebagai alat belaka. Bahasa pada hakikatnya dipandang sebagai
berkaitan secara langsung dengan proses penyampaian arti.
Menurut
Heidegger faktisitas keberadaan merupakan sesuatu yang jauh lebih fundamental,
dari pada kesadaran dan pengetahuan manusia. Fenomonologi hermeneutic Heidegger
adalah suatu fenemonologi tentang ada, suatu hermeneutika tentang ada, suatu
hermeneutika yang membuka sesuatu yang tersembunyi, bukan interpretasi atas
interpretasi, melainkan kegiatan primal interpretasi yang membuka tentang
hakikat ada menjadi terbuka.
Heidigger
menguraikan bagaimana proses pemahaman. Sehingga dengan demikian menyatakan
bahwa manusia tidak pernah hidup hanya tertentu, melainkan ia senantiasa hidup
dari masa lalu ke masa depan. Manusia berada pada masa tertentu yang pada
hakikatnya senantiasa merupakan keterkaitan antara masa lalu dan masa yang akan
datang.
Dengan demikian
menurut Heidigger berpikir bukanlah menggambarkan, bukan menvisualisasikan
sesuatu di depan mata, melainkan untuk mendapatkan sesuatu keterangan dan
mendapatkan suatu pengetian tentang sein. Berpikir tidak konseptual; menurut
heidigger berarti tidak memikirkan bahasa sebagai sesuatu yang dibatasi artinya
secara jelas dan ditetapkan secara rasional, sehingga terkotak-kotak karena
ditentukan konsepnya. Akan tetapi berpikir yang demikian ini adalah suatu
pemaksaan pada realitas, sehingga dengan demikian tidak dapat menangkap hakikat
realitas, sehingga dengan demikian tidak dapat menangkap hakikat realitas
secara objektif.
4. Hans Georg Gadamer
Pemikiran
gadamer lebih menekankan pandangan heidigger bahwa mengerti merupakan suatu
proses yang melingkar. Untuk mencapai pengertian maka seseorang harus bertolak
dari pengertian, misalnya untuk mengerti suatu teks maka harus memiliki
prapengertian tentang teks tersebut. jika tidak maka sekali-kali tidak mungkin
mampu mencapai pengertian tentang teks tersebut. sedangkan di pihak lain dengan
membaca teks prapengertian terwujud menjadi pengertian yang sungguh-sungguh.
Hermeneutika gadamer tidak hanya berkaitan dengan ilmu pengetahuan budaya saja
melainkan juga berkaitan dengan bidang seni. Ia mengawali bukunya dengan
menganalisis seni secara hermeneutic. Ia memperlihatkan bahwa perkembangan
dalam ilmu pengetahuan alam mengakibatkan perubahan juga dalam penialaian
manusia terhadap bentuk-bentuk pengenalan yang lainnya, misalnya pengalaman
estetis.
Bagi gadamer
bahasa adalah realitas yang tak terpisahkan dari pengalaman hidup, pemahaman,
pikiran atau das sein. Karena bahasa juga tidak pernah ditnagkap sebagai
faktrum atau hanya merupakan realitas empiric saja. Bahasa menurut gadammer
adalah prinsip, bahasa merupakan perantaraan pengalaman hermeneutic. Bahasa
merupakan perantaraan bukan hanya sebagai alat, namun bahasa sebagai suatu cakrawala
ontology hermeneutic.
Lingustik modern
mengembangkan suatu pengertian bahasa sebagai suatu system tanda yang bermakna
yang merupakan sarana komunikasi manusia, sebagaimana dikemukakan oleh
Ferdinand desassure maupun Cassier. Dengan demikian manusia bertolak dari
kata-kata dan mempertanyakan apa dan bagaimana tanda-tanda menyampaikan sesuatu
kepada manusia yang menggunakannya. Jadi tidak lagi berangkat dari situasi atau
realitasnya untuk empertanyakan keberadaan kata-kata serta kenyataan kata-kata sebagai
perantaraan. Sesuai dengan hakikatnya sebagai tanda, maka fungsi kata tidak
lain adalah untuk diterapkan.
Bahasa menurut
pendapat Gadamer merupakan perantara bagi pewarisan dan pengungkapan,
pengalamaan kebahasaan menunjukkan bahwa penglaman manusia tidak mungkin
mendahului bahasa akan tetapi penglaman terjadi lewat dan dalam bahasa.
berdasarkan kenyataan manusia tidak memiliki dan tidak mengendalikan bahasa,
akan tetapi mempelajari dan menyesuaikan diri dalam bahasa.
Berdasarkan
pemikirannya tentang hakikat bahasa secara ontologis, Gadamer mengambangkan
pemikiran tentang struktur bahasa secara instrinsik spekulatif. Bahasa
senantiasa dialami sebagai proses penyingkapan, proses dassein yang menbahasa
yaitu termanifestasi dalam bahasa. pemikiran Gadamer tentang struktur spekulasi
bahasa ini nampaknya ada kemiripan dengan teori gambar dari Wittgenstein. Namun
peerbedaan yang essensial adalah bilamana Wittgenstein mendasarkan pada logika
bahasa, sedangkan Gadamer lebih menekankan pada aspek metafisiknya.
Gadamer
mengembangkan pengertian hermeneutika yang berpusat pada bahasa yang besifat
ontologis, dialektis dan spekulatif. Tujuan hermeneutiknya bukanlah suatu
metode, bukan pula membuat aturan-aturan yang secara objektif sah melainkan
memahami pemahaman sekomperhensif mungkin. Konsepsi gadamer tentang hakikat
bahasa sebagaimana lazimnya berkembang saat itu, bahkan pengertian bahasa sejak
zaman yunani. Bahasa tidak dipandang sebagai struktur empiric yang memiliki
makna yang merupakan sarana komunikasi antar manusia. Gadamer meletakkan bahasa
pada posisinya yang bersifat ontologis, sehingga bahasa menurut gadamer tidak
hanya sekedar sebagai alat atau sarana komunikasi belaka melainkan merupakan
sesuatu yang mengungkapkan tentang hakikat ada.
5. Jurgen habermas
Berdasarkan
pemikiran jurgen habermas tentang hermeneutika dan bahasa ia membedakan antara
penjelasan dan pemahaman. Habermas menekankan bahwa kita tidak dapat memahami
sepenuhnya makna suatu fakta, sebab ada juga fakta yang tidak dapat
diinterpretasi. Bahkan kita tidak dapat melakukan interpretasi secara tuntas,
sebab selalu terdapat makna yang lebih, yang tidak dapat dijangkau oleh
interpretasi, yaitu terdapat dalam hal-hal yang tidak teranalisiskan, tidak
terjabarkan bahkan di luar pikiran kita. Semua hal tersebut senantias mengalir
di dalam hidup kita.
Dari sini kita
dapat menyimpulkan bahwa pemikiran Jurgen Habermas menerapkan bahasa merupakan
unsure yang fundamental dalam hermeneutika. Analisis terhadap fakta dilakukan
melalui hubungan symbol-simbol tersebut sebagai symbol dari fakta. Sebagaimana
diketahui dalam ilmu bahasa bahwa bahasa adalah merupakan suatu system symbol,
yang memiliki makna dan pengertian makna adalah arti yang mengacu pada suatu
fakta atau peristiwa.
Dalam ilmu
pengetahuan hermeneutic, bahasa sehari-hari dipergunakan untuk berkomunikasi
dalam konteks kehidupan yang konkret, sehingga bahasa itu mengungkapkan makna
yang indifidual. Habermas mengharapkan dari hermeneuitika munculnya sebuah tipe
penjelasan yang menunjukkan bahwa susunan kata-kata dalam bahasa murni tidak
memungkinkan terjadinya komunikasi walaupun tidak secara langsung, hal yang
sama sekali indifidual.
Pengalaman
hermeneutic dapat melibatkan tiga kelas ekspresi kehidupan: linguistic,
tindakan dan pengalaman. Dari ketiga jenis tersebut habemas mengatakan bahwa
pemahaman hermeneutic harus mengintegrasikan ketiga kelas ungkapan itu.
Pemikiran habermas tersebut nampaknya masih mendasarkan bahasa sebagai sarana
komunikasi, sehingga dengan demikian bahasa memiliki fungsi pragmatis dalam
hermeneutika, yaitu senantiasa tidak dapat dipisahkan dengan expresi tubuh dan
pengalaman. Hal inilah yang merupakan kesulitan dalam proses hermeneutika,
karena linguistic sifatnya verbal yang memiliki makna, ekspresi tubuh manusia
bersifat dinamis dan hal ini diungkapkan secara verbal yaitu melalui bahasa,
adapun pengalaman sangat terikat oleh dimensi waktu, karena berkaitan dengan
suatu peristiwa pada masa yang telah lampau.
Hubungan antara
bahasa, pengalaman dan tindakan tersatukan melalui struktur dialektika yang
ditunjukkan dalam bukunya yang berjudul “the theory of communicative action”
habermas membagi menjadi empat macam yaitu”
·
Tindakan teleologis:
tindakan yang mempertahankan tujuan khusus dan untuk mencapainya dibutuhkan
sarana yang tepat dan sesuai yaitu keputusan.
·
Tindakan normative:
tindakan yang terutama tidak diarahkan pada laku actor soliter melainkan
diarahkan pada anggota-anggota kelompok social/
·
Tindakan dramaturgic:
peserta bertindak yang ditujukan kepada masyarakat umum atau pendengarnya.
·
Tindakan komunikative:
tindakan yang menunuk kepada interaksi, sekurang-kurnagnya dari dua orang yang
memiliki kemampuan berbicara dan bertindak, serta dapat membentuk hubungan
antarpribadi baik secara verbal maupun nonverbal.
6. Paul Ricoeur
Sifat radikal
kaum structuralism itu membawa Ricouer pada pemikirannya tentang filsafat
bahasa terutama dalam kaitannya dengan hermeneutika teks. Ricouer mengakui
bahwa sifat bahasawi (the lingual character) dari symbol-simbol dan
symbol-simbol itu memang tercantum dalam system bahasawi.
Setiap
interpretasi menurut ricouer adalah suatu usaha untuk membongkar makna-makna
yang masih terselubung atau usaha-usaha untuk membuka lipatan-lipatan dari
tingkatan-tingkatan makna yang terkandung dalam makna kesusastraan. Dalam hal
ini nampaknya Ricouer ingin menyatakan bahwa terdapat suatu kebutuhan laten
dalam bahasa untuk mengungkapkan konsep-konsep melalui kata-kata. Kebutuhan
laten tersebut adalah kebutuhan akan hereneutika.
Makna bahasa
dalam hermeneutica yang pada hakikatnya merupakan suatu system symbol yang
terdiri atas unsure-unsur kata. Maka sebuah kata juga merupakan sebuah symbol,
sebab keduanya bersama-sama hadir dalam bentuk yang lain. Salah satu sasaran
yang hendak dituju oleh berbagai macam hermeneutika adalah suatu perjuangan
melawan distansi cultural, yaitu penafsir harus mengambil jarak agar ia dapat
membuat interpretasi yang baik.
Bahasa adalah
bidang dimana semua pengamatan filosofis saling memotong satu sama lain. Bahasa
adalah media bertemunya logika, fenomonologi, eksistensialisme, tafsir kitab
suci dan hermeneutika bahkan menurut ricouer juga psikoanalisis. Bahasa
dinyatakan dalam bentuk symbol, demikian juga pengalaman dibaca melalui
pernyataan atau ungkapan symbol-simbol. Kita mengungkapkan gagasan-gagasan,
emosi, kesusastraan, filsafat bahkan ilmu pengetahuan semuanya melalui bahasa.
Peranan bahasa
dalam pemahaman terdapat tiga langkah yaitu:
·
Pemahaman itu berlangsung
dari penghayatan dan symbol-simbol yang dalam hal ini bahasa, kegagasan tentang
berpikir dari symbol-simbol.
·
Pemberian makna oleh
symbol-simbol serta penggalian yang cermat atas makna.
·
Langkah yang benar-benar
pilosofis yaitu berpikir dengan menggunakan symbol-simbol sebagai titik
tolaknya.
Ketiga
langkah-langkah tersebut sangat erat berhubungan dengan pemahaman bahasa yaitu;
semantic, refleksi dan eksistensial atau ontologis. Langkah semantic adalah
pemahaman pada kalimat-kalimat, kata-kata serta makna makna yang terkandung di
dalamnya. Pemahaman refleksif adalah pemahaman pada tingkat yang lebih tinggi,
yaitu yang mendekati tingkat ontologis, adapun pemahaman eksistensif atau
ontologis adalah pemahaman pada tingkat being atau hakikat keberadaan antara
makna keadaan itu sendiri.
Oleh karena itu
filsafat sudah saatnya untuk membenahi diri akan peranannya, yang sangat vital
bagi keselamatan dan kelangsungan hidup umat manusia. Problema-problema
kongkrit dan realistic umat manusia dewasa ini menantikan aluran tangan para
pendekar piker, untuk memberikan suatu solusi yang realistic pula, dan bukannya
suatu kontemplasi utopis.
7. Jacques Derrida
Berdasarkan
pemikiran Derrida, hal ini dipengaruhi oleh dua aliran filsafat yaitu
fenomenology dan strukturalisme. Hal ini dapat terlihat dari beberapa ucapannya
dan fenomena. Bagi Derrida filsafat tidak dapat dipertantangkan dengan ilmu
pengetahuan, tidak masuk akal jikalau filsafat telah disingkirkan ilmu
pengetahuan dan bahwa filsafat sudah tidak memiliki ruang gerak lagi karena
perkembangan ilmu pengetahuan.
Menurut pandangan
Derrida tentang keeksistensian ini akan nampak dengan jelas, bilamana kita
mempelajari metafisika mengenai tanda. Dalam tradisi metafisika bahwa tanda
menghadirkan sesuatu yang tidak hadir, tanda yang menggantikan sesuatu yang
tidak hadir. Dengan demikian dalam pandangan metafisika tanda ahirnya selalu
menunjuk kepada objek itu sendiri sebagai hadir, tanda hanya sekedar pengganti
yang untuk sementara menunda hadirnya objek itu sendiri.
Dalam pemikiran
filosofisnya Derrida sangat banyak memberi perhatian terhadap bahasa, bahkan
pemikiran filosisnya tentang dekonstruksi dalam postmodernisme juga dilakukan
melalui filsafat bahasa. Derrida membedakan antara tanda tangan symbol, yang
merupakan problema pilosofis dalam filsafat bahasa. system tanda tersebut
bersifat arbitrer dan tidak menurut kodratnya sebagaimana adanya.
Derrida
berkayakinan bahwa meskipun orang belum mengucapkan kata-kata, namun
tulisan sudah siap untuk dicurahkan.
Tulisan dibatasi oleh bahasa yang diucapkan oleh secara lisan, dan karena
ucapan maka makna tertunda dalam tulisan. Apa yang sebenarnya ingin dikatakan
oleh derrida adalah bahwa tulisan merupakan suatu fait accomplit, sesuatu yang
sudah selesai dan terlaksana pada saat orang berbicara.
Derrida
menunjukkan bahwa bahasa tidak lain adalah interpersonal. Sehingga nampak
hubungan yang jelas antara fenomenalogy dengan hermeneutika, jikalau makna
hanya muncul yang pada taraf yang paling dalam, bahasa yang dipergunakan untuk
berbicara harus diselidiki, apakah bahasa itu keluar dari emanasi taraf pertama
atau kedua. Dari pandangan Derrida tentang bahasa dengan hermeneutika untuk
membuat suatu kritik. Ia mengatakan bahwa setiap kata mempunyai arti atau
makna, namun tandanya berbeda-beda. Membaca sebuah teks merupakan suatu
perumusan kembali pandangan dunia yang terdapat dalam proses membaca. Kritik
termasuk pandangan dunia dari pengarang, sedangkan membaca termasuk dalam dalam
arti tanda-tanda dalam kata-kata. Jika kritik tidak dapat menyusup masuk ke
dalam arus utama dari jalan pikiran pengarang atau jikalau gagal gagal
mendalami pandangan dunia dari pengarang, maka kritik itu sebenarnya tidak ada
artinya sama sekali.
Makna bahasa
menurut pandangan Derrida setelah mengembangkan beberapa pendapat pilosof
menyimpulkan secara ontologis tulisan mendahului ucapan. Tulisan dapat menjadi
jejak yang bisu namun juga dapat menjadi saksi dari yang tidak hadir dan belum
dapat terkatakan. Yang dapat mendahulukan tulisan daripada ucapan hanyalah yang
berasal dari alam, bukan dari waktu.
Dengan demikian
makna bukanlah urusan struktur, makna tidak dapat dibangun dalam ucapan, oleh
karena itu Derrida menentang pernyataan para pakar linguistic structural. Hal
ini dikarenakan jikalau makna sudah terbentuk di dalam bahasa, maka orang tidak
akan membutuhkan hermeneutika atau interpretasi lagi. Makna sebagaimana terbawa
oleh suara, selalu memberikan penjelasan kepada pendengarnya. Tindakan
mendengarkan masih merupakan cara kerja penyelidikan hermeneutika. Hal ini
berarti bahwa kebenaran tidak dapat menjadi kebenaran monolitik dari being
selama masih ada kebenaran-kebenaran lain tampil di dalam sejarah berbagai
zaman.
References:
Jabrohim. 2012. Teori
Penelitian Sastra. Pustaka Pelajar: Jogjakarta.
Kaelan. 1998. Filsafat Bahasa
Masalah dan Perkembangannya. Paradigma: Jogjakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar